Apakah Keindahan itu
?. Menurut asal katanya,” Keindahan dalam perkataan bahasa Inggris : beautiful (dalam bahasa Perancis : beau, sedang Italia dan Spanyol : bello ; berasal dari kata Latin
bellum).Kara katanya bonum yang
berarti kebaikan, kemudian mempunyai bentuk pengecilan menjadi bonellum dan terakhir dipendekkan
sehingga bellum. (Dharsono, 2007 :
1).
Istilah estetika dikemukakan pertama
kali oleh Alexander Blaumgarten pada tahun 1750 untuk menunjukkan studi tentang
taste dalam bidang seni rupa. Ilmu estetika
berkaitan dengan pengidentifikasian dan pemahaman faktor yang memberikan
kontribusi pada persepsi suatu obyek atau proses yang dianggap indah atau yang
memberikan pengalaman yang bersifat menyenangkan. Secara etimologi, kata
tersebut berkaitan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan persepsi.
Estetik berkaitan erat dengan penilaian secara visual terhadap penampilan suatu objek
(Simonds, 1983; dan Nassar, 1988).
Menurut Dharsono
(2007 : 3). Estetika berasal dari bahasa Yunani “aisthetika” berarti
hal-hal yang dapat di serap oleh panca indera.
Oleh karena itu estetika sering di artikan sebagai persepsi indera (sense of perception). Alexander
Baumgarten (1714-1762), sorang filsuf Jerman adalah yang pertama memperkenalkan
kata “aisthetika” sebagai penerus
pendapat Cottfried Leibniz (1646-1716). Baungarten memilih estetika karena ia
mengharapkan untuk memberikan tekanna kepada pengalaman seni sebagai suatau
sarana untuk mengetahui (the perfection
of sentient knowledge).
Kata Estetika berasal dari
aesthetika,yaitu kata kerja Yunani aisthanomai. Artinya: “saya mencerap
(sesuatu dengan panca indera)”. Atau
secara teliti: “Saya memandang (sesuatu)”. (Sunarto, dalam Waesberghe, 2005: 5)
Estetika berasal dari
bahasa Yunani Kuno aestheton, yang
berarti kemampuan melihat lewat penginderaan (Sumardji, 1997) atau pencerapan,
persepsi, perasaan, pengalaman, pemandangan (Hartoko, 1993 : 15)
Estetika merupakan
studi filsafati berdasarkan nilai apriori dari seni
(Panofsky) dan sebgai studi ilmu jiwa berdasarkan gaya-gaya dalam seni (Woringger). Berdasarkan kenyataan pendekatan ilmiah terhadap seni, dalam estetika dihasilkan sejarah kesenian dan kritik seni. Sejarah bersifat faktual, dan positif , sedangkan kritik seni bersifat normatif . (Dharsono, 2007 : 5).
(Panofsky) dan sebgai studi ilmu jiwa berdasarkan gaya-gaya dalam seni (Woringger). Berdasarkan kenyataan pendekatan ilmiah terhadap seni, dalam estetika dihasilkan sejarah kesenian dan kritik seni. Sejarah bersifat faktual, dan positif , sedangkan kritik seni bersifat normatif . (Dharsono, 2007 : 5).
Berkaitan dengan
estetik, filsuf Amerika Goerge Santayana (1863-1952) berpendapat bahwa estetik
berhubungan dengan pencerapan dari nilai-nilai. Beliau memberikan batasan
keindahan sebagai nilai yang positif, instrinsik dan diobjektifkan (yakni
dianggap sengaia sebagai kualitas yang ada pada suatu benda).
Menurut rincian Hunter
Mead dalam Liang Gie (1996 : 74-76), nilai estetis (atau nilai keindahan) dapat
di bedakan dalam 3 ragam :1. Sensious (ragam inderawi) Ini ialah keindahan yang
terjadi dari warna-warni, susunan dan nada yang dicerap melalui indera. 2.
Formal (ragam bentuk) Ini ialah keindahan yang terjadi dari semua macam
hubungan seperti muslanya kesamaan kemiripan, atau kontras. 3.Associative
(ragam perserikatan) Ini ialah nilai estetis yang member arti tertentu yang
dikaitkan dengan hal-hal lain (benda, ide, atau kejadian), misalnya suatu
ingatan menyenangkan yang terkait pada suatu lagu tertentu yang pernah didengar
pada waktu yang lalu.
Estetika adalah segala
sesuatu dan kajian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan seni
(Kattsoff, elemen of Philosophy, 1953 dalam Sachari 2002 : 3)
Estetika merupakan
suatu telaah yang berkaitan dengan penciptaan, apresiasi dan kritik terhadap
karya seni dalam konteks keterkaitan
seni dengan kegiatan manusia dan peranan seni dalam perubahan dunia (Van
MaterAmes,Colliers Encyclopdia,Vol 1). dalam Sachari 2002 : 3)
Estetika merupakan
kajian filsafat keindahan dan juga keburukan (Jerome Stolnitz, Encyclopdia of
Philosophy, vol 1). dalam Sachari 2002 : 3)
Estetika adalah segala
segala hal yang berhubungan dengan sifat dasar nilai-nilai non moral suatu
karya seni (William Haverson, dalam Estetika Terapan ,1989). Estetika
mempersoalkan hakikat keindahan alam dan karya seni, sedangkan filsafat seni
mempersoalkan hanya karya seni atau benda seni, atau artifak yang di sebut seni
(Jakob Sumardjo, dalam Sachari 2002 : 3)
Menurut
Maharani (2013 :1) adanya istilah yang kerap tidak tepat digunakan dan definisi
yang sangat beragam, maka bangun estetika dapat ditarik ulur, dan kemudian
berujung pada simpang siurnya pemahaman estetika sebagai filsafat dan estetika
sebagai praksis dalam berkesenian di Indonesia. Memandang estetika sebagai
suatu filsafat, pada hakikatnya menempatkannya pada satu titik dikotomis antara
realitas dan abstraksi, serta juga antara keindahan dan makna. Estetika tidak
lagi menyimak keindahan dalam pengertian konvensional, melainkan telah bergeser
ke arah sebuah wacana dan fenomena. Beberapa pandangan mengenai estetika setiap
waktu mengalami pergeseran, sejalan dengan pergeseran konsep estetik dari
setiap jaman. Pandangan bahwa estetika hanya mengkaji segala sesuatu yang indah
(cantik dan gaya seni), telah lama dikoreksi karena terdapat kecenderungan
karya-karya seni modern tidak lagi menawarkan kecantikan, tetapi lebih pada
makna dan aksi mental. Kemudian dalam perkembangannya terdapat adanya istilah
Kebudayaan Barat (kerap dianalogikan dengan unsur “rasionalitas”) dan
KebudayaanTimur (kerap dianalogikan dengan “suasana hati”).
Paulo Freire (2001 :
35) mengatakan
bahwa seni dan nilai estetik kerap hanya dilihat
sebagai usaha mengekspresikan kreativitas melalui media seni. Tema pokok
gagasannya, untuk dapat melihat kaitan ideologi dengan kebudayaan dalam
perubahan sosial yang intinya mengacu pada visi “proses memanusiakan manusia”,
serta melihat kebudayaan sebagai bagian dari sistem masyarakat yang justru
menjadi pelanggeng proses dehumanisasi
yang menganalisis tentang kesadaran (magical
consciousness, naifal consciousness dan critical
consciousness) atau pandangan hidup masyarakat
terhadap diri mereka sendiri.
Oleh Ki Hajar Dewantara (
1976) , ide akan kehalusan dan keseimbangan itulah yang sebenarnya
mendasari estetika yang diharapkan terserap pada pribadi-pribadi anak didik
untuk berbudi pekerti yang luhur dan juga keseimbangan antara keterampilan dan
kecerdasan. Sedangkan filsafat keindahan menurut Ki Ageng
Suryomentaram ( 1998: 41) bertitik tolak dari
pendekatan dikotomis antara yang indah dan yang kurang indah. Dalam memandang
keindahan, manusia harus bebas dari pikiran rasa senang atau rasa benci karena
rasa semacam itu akan menutupi keindahan yang sebetulnya. Segala sesuatu itu
mengandung sifat indah sesuai dengan makna, fungsi dan keberadaannya.
Gagasan
estetik Diyarkara ( 2001 : 23) selalu
bermula dari manusia sebagai pusat pelaku yang biasanya berupaya untuk
menjasmani atau menduniakan diri. Estetik dapat dipandang sebagai satu fenomena
manusia untuk meningkatkan kejasmaniannya, namun juga dapat dipandang sebagai
sebuah pilihan yang semakin menjerumuskannya ke dalam kehidupan dunia.
Secara
mendalam, Achmad Sadali (1999 : 7) mengungkapkan
bahwa nilai estetik sebagai suatu wujud karya budaya, tidak terlepas dari dua hal
pokok yaitu orisinalitas dan identitas, karena peniruan ataupun duplikasi
amatlah tidak
pantas dalam dunia kesenian. Tanpa orisinalitas dan identitas, karya seni yang dihasilkan
tidak memiliki makna dalam kenyataan hidup berbudaya.
Gagasan
Umar Kayam (1981) tentang
estetika, umumnya ditempatkan dalam konteks transformasi budaya, yang merupakan
satu sudut pandang yang meyakini terdapatnya kedayaan sosial pada seni tradisi
dan komunitas seni yang sedang mengalami perubahan.
Menurut
The Liang Gie
(2003), karya estetis adalah kumpulan segenap kegiatan budi pikiran seorang
seniman yang secara mahir mampu menciptakan suatu karya sebagai pengungkapan
perasaan manusia. Hasil ciptaan kegiatan itu adalah suatu kebulatan organis
dalam suatu bentuk tertentu dari unsur-unsur yang bersifat ekspresif serta
termuat dalam suatu medium inderawi. Gagasan terpentingnya adalah kesadaran
akan kedayaan estetika sebagai upaya untuk mengangkat nilai kemanusiaan. Dengan
demikian kehidupan budaya ini dibawa ke arah nilai-nilai yang lebih manusiawi.
Bagi Tommy F. Awuy (1998)
, kedayaan estetik suatu karya seni tetap merupakan potensi yang besar dalam
wacana kebudayaan. Seni memiliki potensi yang setara dengan ekonomi, politik,
teknologi bahkan agama. Sedangkan Yasraf Amir Pilliang (2005)
mendudukkan estetika sebagai sebuah wacana yang mengalami pergeseran penting
sejak terbangunnya masyarakat pasca industri dan dari kebudayaan modern
bergeser menjadi kebudayaan Postmodern.
Obyek estetik yang sebelumnya selalu dikaitkan dengan fenomena modernisasi,
pada masyarakat sekarang, obyek estetik didefinisikan kembali dengan kode-kode
baru, dengan bahasa estetik baru dan dengan makna-makna yang baru.
Pengetahuan estetika
tumbuh karena kesadaran atas adanya getaran yang ia rasakan pada dirinya
tentang sesuatu rangsangan yang kemudian ia ketahui sebagai sesuatu yang
mengandung nilai indah dan tidak indah. Apabila etika mempelajari tentang baik
dan buruk, logika tentang betul dan tidak betul, metafisika tentang ada dan tiada,
epistemologi tentang kebenaran dan ketidakbenaran maka estetika merupakan sebuah usaha manusia
untuk mempelajari hal indah dan tidak indah. Dengan demikian tidak benar sementara orang bahwa estetika
adalah pelajaran tentang keindahan (Hardjana, 1983 : 13).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarmu berguna bagiku......