Fairuz Arifia
10
Pagelaran
Seni XII IPA 1 Versi-ku
Acara tahunan dalam rangka penilaian
ujian praktek seni musik, diikuti semua murid kelas XII, menampilkan berbagai
macam bidang seni, dibingkai sedemikian “indah”, ya itulah pagelaran seni SMA N
3 Pekalongan. Acara besar seperti ini tentu saja memakan persiapan yang sama
besarnya. Kali ini akan aku ceritakan semuanya dari awal hingga akhir. Silahkan
simak urutan ceritanya baik-baik J
check this out...
“Culture
Project”adalah tema yang akan menghiasi stage kami. Tema ini merupakan gebrakan
baru. Mengapa? Dari angkatan yang sudah-sudah hanya terfokus pada budaya
Indonesia saja, sedang tahun ini sesuai dengan temanya semua penampilan
merupakan hasil akulturasi budaya Indonesia dengan budaya Asing. Namun, semua
pasti punyaplus-minus. Misalnya saja
XII IPA 1, dengan tema seluas itu waktu yang kami butuhkan untuk menentukan
konsep penampilan juga “luas”. Tepat pertengahan Oktober 2013 sementara kelas
lain sudah mulai merangkak, kami masih terduduk dan berpikir. Memikirkan konsep
penampilan. XII IPA 1 terbilang paling lambat dalam memutuskan konsep diantara
kelas lainnya.
Masih jelas dalam ingatanku saat
Pashaiful (baca: guru seni musik kami) menanyakan hasil konsep penampilan XII
IPA 1. Karena memang pada dasarnya kami belum punya gambaran konsep apapun,
waktu itu kami manfaatkan untuk membuat perjanjian peraturan kehadiran saat
latihan untuk big project ini.
Hari demi hari berlalu meninggalkan
pertanyaan monoton yang memekakkan telinga “konsep
kita mau gimana teman-teman?” dan membekas bersama tawa kecil dalam hati
saat teringat betapa jauhnya kami berpikir. Ingatkah dengan semua benua,
negara, pulau sekaligus budayanya yang sudah kita tulis dipapan tulis lab
Fisika saat jam kosong Pak Yuli? Aku masih ingat. J Mungkin hanya karena ber-kiblat
dengan kelas lain yang sudah matang dengan konsepnya, pemikiran kita terkesan mengekor,
wajar sih memang toh ini pertama kali bagi kami semua. Dan pada akhirnya kami
temukan apa yang kami cari, yakni konsep penampilan pagelaran seni kelas XII
IPA 1.
Konsep Penampilan, bicara mengenai
konsep tak akan lepas dari sosok Sandra Dheviani dengan ide brilliant-nya. Sebenarnya tidak hanya
Sandra, namun juga teman-teman yang lain. Kami akan menampilkan akulturasi
antara tarian Jawa sekaligus Gamelan dengan tarian Hip Hop, dan disisipi dengan
sedikit drama sebagai tugas dari crew yang akan membawa jalan cerita. Awalnya
kami sudah menentukan bahwa Bu Ismi lah yang akan melatih tarian Jawa,
sedangkan anaknya akan melatih tarian Hip Hop. Berhubung apa yang bu Ismi
pikirkan tidak sesuai dengan apa yang kami kehendaki, seminggu kemudian bu Ismi
membatalkan diri melatih kami. Disinilah kami mulai diuji lagi. Akhirnya Anna
mengenalkan mas Tyo kepada kami semua, beliau akan melatih Hip Hop. Tarian Jawa
akan dilatih olehbu Nani. Gamelan akan dilatih oleh pak Darsono, ayah dari guru
BK kami bu Dian. Karena project ini
adalah project bersama, kami
melakukan pembagian posisi penampilan. Ada empat posisi yaitu Gamelan, Tari
Jawa, Tari Hip Hop dan Crew. Ilustrasinya:
----------Ucup a.k.a Abdur Rachman
Yusuf (Gong+kempul)
Maichi
a.k.a Maitsaa Kaamiliaa (Demung)
Tuyul
a.k.a Dewi Shofairoh (Bonang Barung)
Farida
a.k.a Farid Thahir (Bonang Penerus)
Kai
a.k.a Eka Milatina Rosada (Demung)
Iruz/Fariyuz
a.k.a Fairuz Arifia (Slenthem)
Medila/Memed
a.k.a Media Adila (Kenong)
Saipul
a.k.a Dyah Shifa Istiqomah (Saron)
Kimcil
a.k.a M. Abdul Hakim AR (Saron)
Reza
Rahman Putra (Kendhang)
Bimantara
Yoga Perdana (Dalang)
Nur
Aisah (Sinden)
----------Sandra Dheviani
Bu
Kaji a.k.a Nella Rossa Nailul Hannah
Simbah
a.k.a Fitri Nur Hidayah
Upil
a.k.a Aurora Melia
Runul
a.k.a Nurul Hidayah
Garini
Adyatiningtyas (Penari Jawa)
----------Gepeng a.k.a M. Rizqi
Andi Novan
Anisa
Mirra Tsaniya
Munaroh
a.k.a Luthfan Mazida
Bebek
a.k.a Febe Yuli Triana
Kardwi
a.k.a Sekar Dwi Setyaningrum
Anna
Rosidah Irawanda Putri (Penari Hip Hop)
----------Yumi a.k.a Umi Afrikhah
Uly
Zakiyah Kurniati
Maria
Intan Citra Dewi
M.
Afifuddin
Fajril Fikri (Crew)
Aku sendiri awalnya Crew, berhubung
aku lemah di acting akhirnya aku
pindah posisi ke Gamelan dan gamelan spesialis peganganku adalah Slenthem.
Perpindahan posisi yang aku lakukan mungkin, mm.. atau lebih tepatnya memang
membuat atmosfir sedikit lebih panas. Tapi itu tak berlangsung lama, aku akui
itu memang salahku tidak berterus terang dari awal tentang posisi mana yang aku
inginkan.
Latihan.
Tidak mungkin suatu penampilan itu akan dipersembahkan tanpa melakukan
latihan walaupun hanya sekali, kecuali jika penampilan itu dilakukan dengan
hati yang tidak ikhlas dan tak mengharapkan hasil memuaskan. Begitu pula halnya
dengan kami. Dengan pelatih masing-masing bidang kami berlatih. Gamelan latihan
di SMA Masehi, Jawa dan Hip Hop latihan di sekolah. Para pemain Gamelan tidak
melakukan pembagian alat dahulu sebelum latihan, jadi saat hendak latihan
pertama kali kami dengan sesuka hati memilih alat yang akan kami jadikan
tanggung jawab hingga hari H pagelaran nanti tiba.
Ribuan detik yang kami gunakan selama
latihan berubah menjadi semakin menyenangkan. Secara pribadi, moment latihan adalah hal yang paling
ditunggu-tunggu. Selama latihan per-pembagian posisi, para pemain Gamelan
berlatih sebanyak tiga lagu yaitu Gambang Suling, Prau Layar, Ojo Dipleroki yang
mana masing-masing dilengkapi dengan gangsaran tentunya.
Satu
hal yang akan aku ingat seumur hidup adalah ketika pak Darsono mengajak kami
(baca: pemain Gamelan) untuk tampil di Pendopo dekat Alun-alun kota Pekalongan.
Kata pak Darsono...
“..berani
apa tidak kalau nanti tanggal 23 November 2013 jam 8 malam tampil di Pendopo?
Tidak apa-apa untuk melatih percaya diritampil langsung didepan penonton. Kalau
mau nanti saya coba sampaikan sama panitianya. Kalian kalau ikut nanti dapat
pengalaman lebih daripada kelas lain yang juga gamelan..”
Dengan
nada bersemangat sekaligus ragu, kami iya-kan ajakan pak Darsono. Itu artinya
tanggung jawab kami bertambah satu lagi, intensitas latihan pun diperkuat.
Sebagian memang belum hafal notasi semua lagunya termasuk aku, namun kami
berusaha untuk berlatih dengan serius. Semua itu dilakukan untuk meminimalisir
kesalahan dan menghapus kesan “memalukan”.
Demi kematangan konsep, tepat jam 5
sore kami semua hadir di Aula SMA N 3 Pekalongan melakukan musyawarah guna
membahas lagu akulturasi. Aku datang terlambat 10 menit yang artinya harus
membayar denda per-menitnya Rp.500 sebesar Rp.5000. Keputusan sudah kami
dapatkan menimbang dari plus-minus
keadaan. Lagu “Jogja Under Cover” milik
Bondan Prakoso akan menjadi lagu terakhir yang akan dimainkan oleh pemain
Gamelan sekaligus menjadi lagu akulturasi kami. Berkat bujukan Ucup dan Farid,
aku tetap tinggal disekolah sampai malam tiba dan kita (baca: pemain Gamelan)
semua berkendara menuju jalan Belimbing, tempat alat-alat Gamelan untuk pentas
di Pendopo. Sebelumnya, sambil menunggu jam 8 sesuai janji dengan pak Darsono,
kami mengelilingi bundaran lapangan Jetayu mencari nasi juga jajan untuk santap
malam. Didapatlah nasi bungkus tempe goreng, martabak manis, sempolan, juga air
mineral. Perut kenyang dan kami semua berangkat. Latihan malam hari ini ditutup
dengan rintik hujan.
Tibalah hari kami pentas di Pendopo,
kami membawakan tiga lagu pagelaran kami kecuali lagu akulturasi. Bau kemenyan
mewarnai penampilan kami dan berakhir tanpa tepuk tangan penonton. Menyedihkan?
Tentu saja tidak. Bagiku itu adalah respon terbaik dari penonton. Aku
mengartikan hal itu sebagai suatu respon “kekaguman” penonton sehingga mereka
lupa memberi sedikit applause atas
penampilan kami. Duduk selama kurang lebih satu jam dengan posisi duduk para
sinden membuat kakiku kesemutan sehingga aku kesulitan berjalan menuruni stage pentas tadi. Kami mendapatkan nasi
kotak lengkap tanpa minum sebagai buah tangan. Kami makan bersama-sama di
emperan samping pendopo. Berfoto ditengah halaman pendopo membuang rasa malu. Jam
10 malam kami pulang. Ini adalah pengalaman tak terlupakan.
Akulturasi dan Properti.Tidak
terasa karena kami terlalu fokus berlatih dengan bidang masing-masing, kami
terlupa akan akulturasi dan properti. Pak Trinil yang kami kenal dari Hakim
membantu kami akan hal tersebut. Latihan akulturasi dilakukan di SMA Masehi
mengingat alat Gamelan tidak portable
sehingga kami harus latihan dimana Gamelan berada, sedangkan pembuatan properti
di GOR Jetayu. Properti yang kami buat dengan bantuan pak Trinil adalah gubuk
warung, lesung, alu, tongkat bendera dan kerangka bendera. Beliau juga membantu
kami dalam gerakan formasi bendera, sebutanku.
Menjelang latihan yang menginjak pada
puncak kemampuan tubuh seseorang, kami mulai lenyap (baca: lelah) satu per
satu, alhasil pak Trinil menyuruh kami semua berkumpul, melingkar, duduk
bersilah, memejamkan mata dan merelaksasikan pikiran. Beliau menyalurkan semangat
pada kami semua, memotivasi kami, mensuggesti dan menyadarkan kami bahwa semua
yang sudah kami lakukan tinggal seperempat jalan. Kami hanya cukup berdo’a dan
sedikit berusaha agar semuanya membuahkan hasil. Hal itu berhasil membius,
membuat kami menangis dengan rangkaian kata yang menyentuh nurani terlebih saat
menyebut nama orang tua. Kami membulatkan tekad lalu membuka mata. Bukankah
dunia tampak lebih indah setelah kita membuka mata waktu itu teman? J
Aku baru sadar setelah tekad yang aku
buat bahwa aku harus ikut menyukseskan pagelaran seni XII IPA 1, ada satu hal
yang terlupa dari tanggung jawabku. Karena terlalu bahagia dengan semua yang
aku alami, aku lupa menghafalkan notasi lagu-lagu yang nanti akan dimainkan
saat pagelaran. Sementara yang lainnya sudah hafal. Berhubung aku sudah hafal
dengan notasi lagu Gambang Suling maka selama tiga hari aku menghafalkan lagu
yang lainnya, satu lagu satu hari. Sampai-sampai aku menyumpah diri sendiri,
“Fai tidak boleh tidur sebelum hafal”. Itu juga berhasil.
Latihan akulturasi menunjukkan progress yang semakin baik setiap
harinya. Semakin kompak, semakin indah, semakin membuatku terharu bila
mengingat semua yang sudah tercapai sebelum ini.
Pagelaran seni tinggal menghitung
hari. Ku bayangkan penampilan kami dengan cermat berharap penampilan kami bisa lebih
baik lagi dari yang di Pendopo hingga menuntunku untuk membayangkan Gamelan dan
sampailah aku pada kenyataan bahwa dari keseluruhan kelas XII yang ada, hanya
XII IPA 1/hanya akulah yang membutuhkan alat musik Slenthem. Aku bergegas
mencari nomer ketua Pagelaran Seni yaitu Rangga, ku lontarkan request bahwa XII IPA 1 membutuhkan
Slenthem. Segera ku tambahkan daftar semua alat musik kami. Entah karena kurang
persiapan atau memang pihak panitia menuntut kami untuk kooperatif sehingga
mereka baru mendata alat musik kami. Tidak mengapa jika demikian, mungkin yang
dimaksudkan adalah agar kami tidak melempar tanggung jawab sepenuhnya pada
orang lain. Tak lama sms yang menyegarkan menderingkanponselku, Rangga sudah
mendapatkan Slenthem. Alhamdulillah, ucapku dalam hati.
Gladi Bersih.H-1,
ku ulang kembali ucapanku. Acara-acara besar pasti juga punya hari dimana hari
itu disebut gladi bersih. Tak terkecuali Pagelaran Seni kami. Gladi bersih
dilakukan tanggal 20 Desember 2013. Kelas kami mendapat giliran jam 3 sore, itu
berarti jam setengah 2 kami sudah harus berada dikawasan sekolah untuk
mempersiapkan segalanya. Masing-masing kelas diberi waktu untuk gladi bersih
selama 20 menit. Sebelum jam setengah 2 kami semua berbondong-bondong menuju
GOR Jetayu untuk memindahkan properti ke sekolah. Kami lakukan bersama-sama
dalam gerimis.
Sebenarnya hari itu tidak pantas
disebut gladi bersih, menurut pendapatku dan sebagian teman yang lain. Itu
adalah gladi kotor. Mengapa? Rata-rata dari semua kelas termasuk XII IPA 1
menyembunyikan atau lebih tepatnya menutupi apa yang akan ditampilkan oleh
kelas mereka masing-masing. Seperti XII IPA 1, disaat yang lain mengatur posisi
formasi, kami hanya mengukur lapangan, berdiri, duduk, lalu berdiri lagi. Tidak
lama gerimis melanda. Hiruk pikuk yang sedari tadi menyelimuti kami sekarang
menghilang bak tertiup angin hujan. Samar-samar terdengar seseorang berteriak
dan diiringi celetuk dari penonton yang lain “Udah si.. Jangan dipaksain, ini H-1 lho nanti kalian sakit”. Kami
tertawa mendengarnya, bukannya meremehkan nasehat teman kami dari kelas lain
melainkan hujan yang turun kala itu adalah partner
latihan kami sejak awal kami latihan bersama di SMA Masehi. Lirik lagu
akulturasi kami saja begini...
“Ana udan salah mangsa.. Sawiji ing
tanah Jawa..”
Hujan mereda, kami pun bahagia.
Awalnya gladi bersih kami tampak membosankan hingga tak menarik pasang mata tuk
memandang, menurut apa yang aku tangkap dari sorot mata mereka. Tampak
teman-teman dari kelas lain kemudian mendekat penasaran dengan tarian Hip Hop
yang dibawakan Gepeng CS yang menurutku memang mengagumkan. Mereka melakukannya
saat gerimis malu-malu menghampiri. Tarian Jawa juga tak kalah mengagumkan.
Indah.
Waktu gladi bersih habis. Kami
mengadakan rapat lagi di ruang 14, mengevaluasi gladi bersih tadi. Pemain
Gamelan belum sempat berlatih menggunakan alat yang sudah disediakan panitia,
sebab kelas seberang menguasainya di ruang Lab musik. Untuk kesekian kalinya
kami diuji, kesabaran kami. Kami datang dua kali meminta ijin untuk
memainkannya tapi tetap tak dihiraukan. Ketiga kalinya kami datang, tak peduli
apa yang sedang mereka lakukan, kami masuk, mengeceknya satu per satu, lalu
mereka pergi dan kami memainkannya.
Astaga, pemukul slenthemku pecah.
Bukan pecah ditanganku, tapi sudah pecah dari sebelum aku memegangnya. Panitia
tidak mengeceknya. Aku frustasi, benar-benar frustasi. Pikiranku melayang jauh
kemana-mana. Aku sudah latihan selama ini, menghafalkan notasi sampai tengah
malam, menghadapi kemarahan orang tua karena latihan terus, lalu besok aku
harus menerima kenyataan bahwa aku harus mendengar tak ada suara apapun yang
akan aku dengar dari alat musikku. “Ya
Allah”, sesalku.
Malam menjelang, satu per satu temanku
pulang terutama yang perempuan. Tinggallah aku bersama teman-temanku yang
laki-laki dan juga Aisah. Aku sempat menangis, jujur. Badanku juga kurang
sehat. Aisah yang melihatnya mungkin kasihan hingga ia meminjamiku jaket. Dia
pulang. Aku meminta Farid untuk menelepon pak Darsono agar aku bisa meminjam
pemukul Slenthem paguyuban di jalan Belimbing. Alhamdulillah pak Darsono mau,
dan beliau akan membawakannya besok saat hari H. Kini aku percaya bahwa
besar/kecil usaha yang sudah aku keluarkan, tidak ada kata sia-sia didalamnya.
Mendengar kabar tersebut aku jadi
lebih baik, namun tiba-tiba perutku sakit karena telat makan. Pak Trinil
mengobati aku dengan cara totok syaraf, aku menyebutnya. Pak Trinil akhirnya menyuruh
Hakim membeli makanan untuk kami semua, termasuk karena perutku yang sakit ini.
Awalnya aku mau pulang saja, namun karena motorku dipinjam Hakim, jadi harus ku
tunggu. Makanan datang, aku pun makan lalu pamit pulang. Saat itu hampir jam
setengah 10 malam.
A
Day to Remember.Hari yang ditunggu
selama 3 bulan lamanya datang juga. Kami diharuskan berangkat pagi dan jam 5
pagi harus sudah sampai sekolah untuk keperluan make up dan serba-serbi yang lain.
Kami mendapatkan urutan ke 5. Termasuk
urutan yang menguntungkan bagiku. Pusakaku (baca: pemukul Slenthem) sudah dalam
genggaman. Sebelum kami maju, kami melakukan “ritual” yang biasa kami lakukan.
Kami berdiri melingkar, menyilangkan tangan, saling berpegangan, memejamkan
mata kemudian berdoa. Setelah selesai kami memusatkan tangan kanan dalam
lingkaran, mengayunkannya ke atas dan berteriak “Oi! oi! oi!”. Kami siap untuk
menampilkan yang terbaik.
Penampilan kami terbilang sukses.
Membangkitkan semangat nasionalisme. Hanya ada sedikit kesalahan teknis yang
jelas itu bukan berasal dari kami. Sedikit kecewa, tapi tak mengapa semuanya
terbayar dengan senyuman, ucapan selamat dari Pashaiful dan decak kagum para
penonton.
Syukuran.Agenda
kami selanjutnya adalah syukuran. Berhubung uang tabungan kami untuk pagelaran
seni ini masih tersisa banyak. Kami gunakan untuk membakar ikan di rumah Shifa.
Mungkin karena kelelahan, banyak teman kami yang tidak ikut.
Sembari menunggu semua ikan turun
dalam lambung, kami mengulas kembali cerita dibalik Pagelaran Seni kemarin.
Hampir semua cerita yang dilontarkan per-individu membuat kami tertawa
terpingkal-pingkal.
Keramahan ibu bon SMA Masehi yang
selalu bertutur dalam logat bahasa krama halus yang kami gunakan sebagai ajang
berlatih bahasa. Tawa riang teman-teman yang menaburkan kelucuan disela-sela
latihan.Kesabaran dan keuletan pak Darsono mengajari kami semua.Sholat
berjama’ah yang tak terlewatkan. Saling bonceng-membonceng menyusuri jalanan
Progo sampai Kurinci. Makan siang bersama di depan SMA Masehi maupun di kantin
sekolah. Hukuman lari yang terkadang kami lakukan beramai-ramai atau lari dari
tempat parkiran sampai ruangan latihan agar tak terlambat dan akhirnya kalian
melempariku dengan tawa karenanya. Yumi yang helmnya hilang sewaktu latihan
pertama dan terakhir kalinya di SD Panjang Wetan 1 bersama bu Ismi. Aurora yang
selalu terlambat sehingga dendanya sampai 100 ribu lebih karena ketiduran.
Gepeng yang saat pentas musiknya udah jalan duluan. Bima yang sandalnya lepas
waktu masih narasi. Hakim, Shifa dan Arin yang salah dalam penutup gangsaran
saat pentas. Para penari yang kakinya kapalan karena panas. Kita semua yang
latihan di SMA Masehi sambil hujan-hujanan. Apa lagi? Sungguh masih banyak
hingga aku lupa sampai mana aku tertawa mengingatnya. Kalian dengar lagu Sheila
On 7 yang berjudul “Kita” atau “I remember” nya Mocca atau bahkan “Tentang Kita” nya Noah? Aku
mendengarnya sekarang. Ini terlalu indah untuk dilupakan. Sungguh.
Jika aku mengambil dari kacamata Gamelan,
apa yang sudah kami lakukan merupakan filosofi untuk hidup harmonis. Dalam
memainkan gamelan, setiap pemain memainkan alat yang berbeda untuk menghasilkan
suara yang berbeda tapi entah mengapa suara yang dihasilkan menyatu menjadi
sebuah komposisi yang sangat indah. Kami semua mungkin mempunyai ketertarikan
yang berbeda dalam menjalani hidup, namun kami masih bisa bersatu dalam
keharmonisan seperti filosofi gamelan.
Terima kasih semua teman-teman kelas
XII IPA 1, Terima kasih ayah dan ibu, Terima kasih Pashaiful, Terima kasih
Allah SWT.J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarmu berguna bagiku......