Kepercayaan terhadap batik memudar ketika masyarakat menghadapi perubahan jaman; persoalan ini terletak kepada kemampuan budaya “Tradisi” berhadapan dengan Postmodernism atau Modernism. Budaya “ ke Kini an” ini menjadi dekat dengan generasi baru karena mendasarkan pada pemikiran kritis yang dimulai dengan mempertanyakan “Metafisika kehadiran”. Prinsip ini berdampak pada kedudukan “adiluhung”. Pandangan kekinian terhadap kesempurnaan hidup adalah kemaslahatan dan fragmatis. Padahal batik selalu berlatarkan “maknawi yang simbolistik” yang membutuhkan pemikiran tradisionalistik, oleh karenanya gelombang ke “kini”an lebih memenangkan percaturan tersebut. Lalu, mengapa masih mengangkat batik dalam konstelasi budaya kekinian? Jawaban mendasar meletakkan kehadiran “budaya pluralistik” sebagai alasannya; Pluralistik menghendaki prinsip “karakter setiap bangsa,” maka batik kembali dibicarakan keberadaannya. Adakah pesan dan kekuatan batik menghadapi budaya kekinian? Atau sekedar menghidupkan gaya “lama dalam baru”. Judul ”Batik menembus ruang dan waktu” akan membahas eksistensi batik dalam perubahan budaya dan menatap perkembangan IPTEKS. 01. Tentang Motif Sejarah batik masih menjadi perdebatan; mulai penentuan asal mula batik, yaitu motif sampai kepada teknik tutup celup menjadi persoalan utama. Beberapa Negara mencoba memberikan argumentasi, kalau batik sebagai salah satu teknik tutup celup telah dimulai Negara-negara Amerika Latin dan juga India termasuk Malaysia. Itulah sebabnya Malaysia mengaku hak paten dari segi keteknikan, karena telah lama menggunakan teknik “tutup-celup”. Akan tetapi ketika perbincangan tentang “moti, bangsa Indonesia berani mempertahankan sebagai local genious. Persoalan inilah batik diakui sebagai warisan dunia yang berasal dari bumi Indonesia. Sebenarnya, motif dasar batik bersifat universal, artinya unsur yang terdapat pada motif geormetris seperti dipunyai pula oleh bangsa yang lain, seperti; India, Cina, Vietnam atau daerah Asia Pedalaman sejak Quzyl sampai ke Tun Huang. Misalnya, motif Ukel; berasal dari bentuk spiral, atau lung-lungan (lihat pada lung Candi-Kalpalata); motif ini sama dengan motif recalcitrant pada mata kejayaan kerajaan Hindu di India. Dilihat dari makna, motif ini mempunyai arti simbolis “pelajaran hidup.” Di beberapa candi dikembangkan menjadi Kalpalata (dipahatkan sebagai relief). Sedangkan dalam batik menjadi motif: Semen, Sawat, Gurda atau yang lain. 02. Menelusuri Sejarah Motif Motif batik di Indonesia mempunyai keunikan; motif ini merupakan sinkretisasi kepercayaan yang diekspresikan dalam bentuk symbol visual. Kuswaji Kawendrasusanta (1976) menerangkan, bahwa motif batik tidak seraya hadir dalam konstelasi agama Hindu saja, melainkan merupakan akulturasi budaya Islam dan Hindu. Budaya Hindu dalam batik tampak jelas pada memaknai symbol-simbol visual dan warna. 3 buah warna batik untuk mebngemas motif ini adalah: merah, hitam dan putih. Merah merupakan warna dewa Brahma, sedang hitam adalah Siwa serta putih adalah Wisnu. Dalam perjalanan sejarah Islam di Jawa, warna sebagai symbol dewa Hindu berkembang menjadi: merah identik dengan cokelat, hitam identik dengan warna biru serta putih adalah kuning. Hal ini lebih bervariasi lagi untuk motif Cirebon, warna-warna primer yang datang dari negeri Cina memberi konotasi berbeda sehingga ke khasan warna batik Cirebon sampai ke Pekalongan menjadikan nuansa warna berbeda dengan Jogja – Solo. Dalam teori Psikohomerostatik - Frank SK Shiu (Kuncaraningrat, 1986), dijelaskan bahwa alam mempengaruhi manusia ini memberi perbedaan prefernesi antara daerah pedalaman dan pesisiran. Nuansa warna kegelapan merupakan preferensi orang di daerah pedalaman, sedangkan pesisiran lebih cerah dan bentuk realistik. Sebagai contoh, Alam Jogja dan Solo dilingkungi oleh Gunung dan Laut memberi kecenderungan mengenakan warna gelap untuk merepresentasikan kewibawaan. Motif batik yang berupa geometris mendapat pengaruh kuat dari kebudayaan Islam, terutama kejayaan Demak. Bermula dari keinginan Raden Patah akan melakukan ibadah Haji dengan mengutus patih Udara. Patih Udara berangkat lewat Cirebon (pelabuhan), namun di perjalanan dirampok - peperanganpun terjadi. Patih Udara menemui ajal dengan serban yang berada di kepala terisi bercak darah. Bercak darah ini terlihat seperti motif geometris, oleh para pengikutnya dan dibawa pulang ke Demak. Selanjutnya, serban tersebut dimodifikasi menjadi motif berbatik (bekas-bekas tersebut mirip dengan ornamen geometris). Akhirnya, kalangan istana (baca kerajaan) motif ini dijadikan motif blangkon, sedangkan jubah menjadi motif “poleng”. Akan tetapi realistik tidak diperkenankan dalam Islam (Hadist diriwayatkan oleh Buchori Muslim) larangan menggambarkan makhluk hidup, akhirnya batik distilisasi menuju dekoratif, serta bentuk makhluk menjadi figural. Sebagai bukti, nama-nama motif pun diubah menjadi nama dan susunan bunga, daun, pohon. Misalnya: motif semen sebenarnya menggambarkan persemaian tanaman. Kreativitas para perupa pada saat itu akhirnya mengembangkan motif ornamen Hindu dari bentuk sulur menjadi ukel. Motif ini mempunyai arti “kesuburan” yang ditunjukkan dalam: (1) ornamen yang dilukiskan tidak putus-putus menjadi salah satu ajaran manusia supaya ulet menghadapi tantangan jaman, (2) selain itu juga sebuah harapan menghasilkan pangan yang melimpah. (3) “kesuburan” juga diartikan keindahan alam. Motif dasar ini dimanfaatkan sebagai “isen” dalam batik, menjadi “isen ukel”. Pemenuhan motif ini pada suatu bentuk dasar menjadi semakin kuat ketika pertimbangan tata artistik. Dalam wayang, isen ukel juga digunakan untuk memenuhi dan sekaligus menggambarkan rambut. Ukiran wayang kulit (dengan ukir krawingan atau tembus) akan berkesan hidup ketika disoroti oleh blencong.
Sedangkan pada batik, motif ukel menjadi isen bertujuan untuk memadati pola hias lengkap. Dalam mitologi Jawa tentang kehidupan, divisualisasikan ke dalam motif yang berfungsi sebagai teks-teks visual. Isi teks-teks visual ini dirangkai menjadi wacana pelajaran kautamaning urip.[1] Batik dengan motif “semen” merupakan pola hias yang dianalogkan sebagai kosep wacana teks ruang publik[2] berfungsi untuk menyampaikan pesan dalam konteks pendidikan pengajaran berbudaya dan ber-etika. Kaitan erat dengan kehidupan sosial sangat tinggi. Batik dapat memberikan gambaran penggunanya (pemakainya) tanpa harus bertanya kedudukan dan asal-usulnya. Inilah yang menjadikan cirikhas budaya Indonesia. Batik menjadi media, sumber serta etika bangsa Indonesia. Beberapa motif yang disengker untuk kepentingan istana Surakarta/Solo dan Yogyakarta berasal dari masyarakat, dengan keikhlasan memberikan kepada raja sebagai pisungsung motif tersebut dubah menjadi lebih rumit dengan dibumbui mitos dan symbol-simbol diglosy. Sebagai contoh batik motif “Semen” [3] (bhs. Jawa) berasal dari suku kata semi- an; kata semi adalah bersemi atau tumbuh. Kemudian, kata ini dilazimkan menjadi semén dan dimaknakan sebagai (1) sesuatu harapan untuk berkembang seperti tetumbuhan yang bersemi, (2) semi atau tumbuh sebagai calon pohon memberi pengertian bahwa setiap manusia selalu tumbuh baik fisik maupun pikirannya. Semi dimaksudkan: orang yang mengenakan motif ini mempunyai pikiran yang terus berkembang, mampu berperan dalam memotivasi berkehidupan orang lain; konteks bermasyarakat adalah mampu memimpin masyarakat. harapannya orang yang mengenakan motif “semen” harus mempunyai watak dan perilaku (budi pekerti) seperti yang digambarkan dalam motif. Sebenarnya, motif semen ini merupakan motif khas dalam budaya Jawa (Sunda atau Pajajaran, Jogja dan Solo atau Surakarta). Keempat negeri ini mengunggulkan motif semen sebagai teks-teks visual yang dibaca sebagai pesan pendidikan pemimpin. Motif semen ini popular di kalangan kerajaan (baik Jogja, Solo, Magkunegaran dan Pakualaman) tetap menguatkan motif ini sebagai prasarat pakaian bangsawan. Toetti Toekajati Soerjanto mengungkapkan bahwa motif semen berkaitan dengan pesan moral dalam cerita wayang Ramayana (http://www.javabatik.org/motif/pola_semen.html) “ Asal mula hadirnya pola semen berawal pada saat pemerintahan Sunan Paku Buwono IV (1787 1816) di saat beliau mengangkat putera mahkota sebagai calon penggantinya. Beliau menciptakan pola tersebut guna mengingatkan puteranya kepada perilaku dan watak seorang penguasa seperti wejangan yang diberikan oleh Prabu Rama kepada Raden Gunawan Wibisana saat akan menjadi raja. Wejangan tersebut dikenal dengan sebutan Hasta Brata [4]. Wejangan ini terdiri dari 8 (hasta) hal yang masing-masing ditampilkan dalam pola semen dengan bentuk ragam-ragam hias yang mempunyai arti filosofis sesuai dengan makna masing masing ragam hias tersebut. Oleh karena itu, pola batik ciptaan beliau tersebut diberi nama semen Rama (dari Prabu Rama). Berdasarkan uraian diatas nampak bahwa pola semen merupakan salah satu pola batik yang mencerminkan pengaruh agama Hindhu-Budha pada batik”. Berangkat dari kesejarahan motif batik dapat dijadikan argumentasi bahwa batik milik bangsa Indonesia, karena motif dasar ukel sebagai local genious yang terdapat dimana saja belahan bumi Indonesia. Seharusnya, motif ini mampu menggeser kedudukan hak paten batik Malaysia. Sekaligus, memberikan pemahaman kepada dunia bahwa berangkat dari makna simbolis “Motif Batik”[5], Batik Indonesia dari segi motif dapat digunakan sebagai alasan mempertahankan asal – usul batik.[6] Prinsip batik, bukan saja teknik, melainkan juga motif. Jadi untuk memaknai batik dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam pelaksanaan pendidikan tidak saja pada teknik membatik (tutup-celup) melainkan motif perlu diangkat sebagai kelengkapan apresiasinya. 03. Batik dalam Pranata Sistem Budaya Kata budaya dalam konteks budaya Indonesia adalah perilaku bangsa Indonesia (bukan saja budaya diartikan sebagai budaya fisik seperti kesenian). Etimologi kebudayaan adalah budaya atau culture. Kata culture berasalah dari bahasa latin colere, yang mempunyai maksud cultivation yang berarti kenaikan tumbuhan atau berkembang menjadi baik; dicontohkan dalam peradaban pertanian adalah mengusahakan (budi daya) lahan supaya menghasilkan yang terbaik. Budi daya mengandung akal, jadi usaha menaikkan hasil tersebut dengan akal manusia. Usaha tersebhut melalui pendidikan, jadi kebudyaan itu mengandung makna pendidikan, serta mengusahakan kebaikan atau hal-hal yang baik. Hal-hal yang baik akan menghasilkan kesenangan, dengan demikian suatu kebudayaan harus menghasilkan kesenangan kepada orang lain. Dengan demikian, budaya yang dimaksudkan adalah sistem nilai bangsa Indonesia yang yang dalam perilaku harian serta bentuk-bentuk ekspresinya seperti yang dituliskan oleh Kuncaraningrat (1976). [7] Batik dikenakan oleh para moyang dengan tujuan yang luas; tdiak saja batik sebagai pakaian penutup aurat, melainkan sebuah pranata budaya dengan cirikhas Indonesia. Batik sebagai pakaian akan menjadi bukti, bahwa keunggulan batik yang berasal dari Indonesia adalah ornamen. Ornamen yang dirangkai menjadi motif batik ini dikaitkan dengan pandangan hidup bangsa dan sekaligus sebagai cirikhas dari cirri khas “Indonesia”. Berbicara mengenai ornamen batik di Indonesia sebagai bahasa visual, batik mempunyai 3 makna budaya yaitu: (a) narasi simbolik etika-moral, pandangan hidup, (b) cirikhas seni rupa Indonesia, (c) pesan pendidikan. Beberapa motif mempunyai makna kompleks, dan konotatif. Keberadaan motif sebagai kesatuan tatabusana dengan kepribadian orang, maka, pola dan ornamen jejarit berfungsi membentuk penampilan. “ Sebagian besar Pola Ceplok itu merupakan pola-pola batik kuno yang terdapat pada hiasan arca di Candi Hindu/Budha dengan bentuk kotak-kotak, lingkaran, binatang, bentuk tertutup serta garis-garis miring. Pola dasar yang terdapat pada candi Hindu di arca Ganesha dari Banon Borobudur, arca Hari Hara dari Blitar, Ganesha dari Kediri dan arca arca Parwati dari Jawa merupakan pola dasar dari pola Kawung”(http://netsains.com/2010/03/makna-filosofis-motif-semen-romo/) Prinsip pola geometris [8] ini menunjukkan penataan dengan ritmis tetap, mirip dengan model penataan statis, dengan irama lagu yang disusun dalam not lagu yang teratur. Kelihatannya, beberapa pustaka merujukkan kepada pola hias lantai candi yang dipahatkan sebagai relief cerita pada dinding candi di Indonesia. Bahkan pola Ceplok ini dipahatkan untuk motif jejarit patung Budha Mahadewa (di candi Tumpang) dan patung Brkhuti (candi Jago). Tampak bahwa susunan motif Kawung seperti pola nitik, pola banji, pola ganggong, yang akhirnya dikelompokan sebagai pola tersendiri. Desain pola lain seperti Ceplokan, Kawung, Nitik, Ganggong, Banji, Parang dan Lereng diasosiakan dengan kehidupan sosial. Pertama, konsep diglosy [9] pada saat itu kehidupan kerajaan Jogjakarta dan Surakarta memberikan gambaran tata aturan mengenakan kain jejarit. Dalam unda-unda (peraturan yang bersifat norma) yang dikeluarkan oleh Sunan Pakubuwono ke III (1769) disebutkan: “ Anadene kang arupa jejarit kang kalebu ing laranganingsun, yaiku: batik sawat lan batik parang rusak, batik cumangkiri kang calacep modang, bangun tulak, lenga-teleng, daragam lan tumpal. Anadenebatik cumangkirang ingkang acalacap lung-lungan utawa kekembangan, ingkang ingsun kawenangaken anganggo Pepatih ingsun lan Sentananingsung, kawulaningsung Wedana [10]. (Amri Yahya, 1985: 16). Uraian tersebut dilihat dari wacana tekstual adalah catatan resmi (regester) yang tertera simbolis dalam motif (Wastra) yang disebutkan. Motif tersebut menunjukkan kedudukan seseorang dalam struktur social (level pangkat dalam urutan dalam kerajaan). Ketika seseorang mengenakan batik bermotif parang rusak, akan menunjukkan posisi duduk ketika mengikuti pertemuan besar. Kedua, batik dengan konsep registered; kutipan Unda-unda Paku Buwono tersebut memberi gambaran bahwa batik harus dikenakan secara resmi dengan motif resmi. Resmi dalam arti memberi tekanan pada kedudukan bagi orang yang mengenakan. Pakaian ini selanjutnya menjadi tanda atau symbol bahwa dengan jejarit yang dikenakan akan mempunyai sikap dan tata aturan pergaulan yang berbeda. Semakin tinggi posisi dan kedudukan harus pula menunjukkan budi pekerti yang luhur. 04. Batik Menghadapi Benturan Kebudayaan “ Budaya Populer”, yakni budaya yang terbentuk, merupakan produk industrialisasi, kajian budaya merangkulnya dan melihatnya sebagai ekspresi positif “orang kebanyakan” untuk bertahan. Budaya ini yang dihasilkan secara massal dengan teknologi oleh dunia industri, dipasarkan secara profesional, untuk mendatangkan profit, ditujukan bagi massa publik konsumen. Budaya yang tersebar secara global, menembus batas-batas geografis, bahasa dan perbedaan-perbedaan primordial maupun sosial. (http://www.scribd.com /doc/4069285/PERDEBATAN-AKADEMIS-TENTANG-BUDAYA-POPULER). Posisi ini mempunyai karakter yang sama dengan gaya anak muda, oleh karenanya, pada belahan kota-kota besar di Indonesia mempu “mengalahkan batik”. Budaya Pop (BP) berangkat dari filsafat postmodernisme yang disampaikan oleh Jacques Derrida dengan prinsip :mempertanyakan metafisika kehadiran”. Prinsip “adiluhung” selalu berubah oleh waktu dan kebutuihan, oleh karenanya dalam dunia ini tidak ada seseuatu yang tetap. tetap berarti suatu kematian, karena orang selalu mencari yang baru, dan yang baru akan meninggalkan yang lama. Filsafat ini memberikan gambaran bahwa dunia tidak akan tetap dan arti-arti simbolis yang dikemukakan oleh nenek moyang adalah sejarah yang tidak akan terulang lagi. Sejarah adalah suatu memori yang berlaku pada saat itu untuk peristiwa tertentu. Maka orang yang selalu mengagungkan “symbol-simbol” akan mempersulit diri untuk beradaptasi dengan perubahan jaman. Jaman akan melindasnya sebagai roda yang sangat berat. Tentu saja pendapat ini akan menghantam batik. Usaha melestarikan batik sebagai warisan budaya Indonesia dan dunia akan menghadapi permasalahan besar. “Demam Modern” anak Indonesia yang dilandasi oleh BP ini akan memberikan konotasi terhadap perkembangan batik. Oleh karenanya, meng”counter” BP anak muda tidak melalui “show of force” melainkan dengan menanamkan melalui “Apresiasi”, dan posisi pendidikan sangat penting. Proses antagonistic Tradisi – Modern dalam bahasan KTSP tidak memberikan kejelasan tujuan mengapresiasi seni melainkan justru akan memberikan persepsi kekurangan batik yang tidak tanggap terhadap jaman. Permasalahan tradisi – modern tidak perlu ditonjolkan sebagai pertentangan melainkan sebagai khasanah, maka perlu diubah tradisi dan ke”kini”an. Konsep ini akan mengembangkan makna yang luas terhadap kemajuan dan memposisikan batik masih eksis dalam persaingan melalui keunggulan motif. Demikian pula jika batik harus diangkat sebagai busana, maka modifikasi motif serta kemaknaannya akan memberi keunggulan dalam penampilan. 05. Falsafah Batik dan Pendidikan Batik Dijelaskan dalam uraian di atas, bahwa batik sebagai wacana pendidikan diartikan batik mempunyai makna pendidikan dan digunakan untuk mendidik. Pendidikan dan pengajaran dimuati perilaku atau latihan dalam bentuk apresiasi dengan memahami motif yang ada di dalamnya. Berangkat dari klausa ini, diajukan konsep “Pendidikan Batik”. Pendidikan Batik adalah mendidik “dengan, melalui, berupa” batik. Mendidik adalah mendewasakan anak, dimana struktur jiwa beranah cipta, rasa dan karsa. Dengan kata lain: kajian materialnya adalah batik (dalam ujud karya dan berkarya), sedangkan kajian formalnya adalah mengangkat ranah jiwa seperti cipta. Rasa dan karsa melalui batik. Dua sasaran ini akan menjadikan batik sebagai karya seni rupa dengan muatan filosofis. (1) Batik sebagai busana, akan menjelaskan motif yang mempunyai arti “pelajaran tentang hidup dan kehidupan”, (2) proses membatik secara tradisional sebenarnya proses pendidikan; ketika harus meneteskan malam menjadi garis dan ceceg seseorang harus sabar, dan tidak cepat. Goresan yang dilakukan oleh tangan manusia pembatik akan mengikuti irama garis motif. Klowongan tersebut tidak akan memberi bentuk hidup ketika digoreskan dengan seenaknya. Maka, proses membatik sebenarnya melatih kepekaan rasa, kreativitas serta ekspresi estetik. Inilah sebagai pertajhanan bahwa batik sebenarnya juga sebagai cirikhas seni rupa Indonesia. (3) motif batik dapat dijelaskan dalam pembelajaran sebagai pelajaran hidup dan sekaligus keterampilan membatik akan mempersiapkan calon pelaku ekonomi. Batik yang dijadikan muatan lokal atau sebagian dari kurikulum utuh akan memberikan makna tersendiri bagi perkembangan: busana, eknolomi serta bnentuk seni rupa Indonesia di mata orang asing. Secara garis besar, pendidikan batik dapat dijelaskan: Pendidikan Batik Dengan demikian, pendidikan batik adalah “Batik” sebagai media belajar, sekaligus sebagai sumber belajar dan metoda belajar. Sebagai media belajar, Pendidikan Batik diharapkan mampu memberi wawasan sistem nilai “luhur” yang masih eksis dan relevan dalam pembangunan watak serta kepribadian bangsa. Sekarang sistem nilai tersebut sebagai pendidikan budi pekerti. Batik sebagai sumber belajar; motif batik merupakan wacana atau narasi visual yang berisi teks-teks pelajaran hidup, sehingga dapat memberikan nuansa kekhasan bagi yang mengenakan batik. Batik sebagai strategi belajar, tatacara, prosedur membatik serta penampilan mengenakan batik sebenarnya pelajaran kecakapan sosial yang sampai sekarang ini banyak dilindas oleh Budaya Pop. Seperti diketahui bahwa BP bersifat ke kinian dan sementara selalu berubah menyesuaikan kondisi jaman, sehingga bagi anak kadangkala belum mempunyai fondasi pengetahuan yang kuat akan mudah terimbas oleh perilaku yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Dampak BP adalah berpikir kritis, melainkan juga berpikir rasional. Akan tetapi, berpikir rasional dan kritis tanpa mengetahui persoalan dasar kebangsaan akan menghilangkan rasa kebangsaan. Selama ini Bangsa Indonesia masih menginginkan persatuan dan kesatuan dalam menggalang cita-cita sehingga masih dibutuhkan kerangka dasar “moral” dan “budipekerti” yang menunjukkan ke”Indonesia”an. Semoga melalui kajian seperti ini mampu menggugah peran pendidikan batik dalam pendidikan pada umumnya. 06. Daftar Pustaka. Hajar Pamadhi, dan B Widaryanto, 2010. Mawar dan Melati dari Puro Pakualaman, Pusat Studi Pendidikan Kearifan Lokal, Yogyakarta. Hamzuri.2000. Classical Batik .Jakarta: Djembatan. Irawan, Gatoto. Batik dari Titik Menjadi Abadi .www.google.com. K, Koeswadji.1981. Mengenal Seni Batik di Yogyakarta .Yogyakarta:Proyek Pengembangan Permuseuman. Koentjaraningrat 1976, Kebudayaan dan Mentalitet Pembangunan, Gramedia - Jakarta Pramono, Kartini.1995. Simbolisme Batik Tradisional.Yogyakarta :Jurnal Filsafar UGM. _____________.2005. Simbolisme Seni Batik Klasik dan Tradisional Yogyakarta :Pidato Dies Natalis XXXVIII Fakultas Filsafat UGM. Rozaki, Abdur, dkk.2003. Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta . Yogyakarta : IRE Press. Sondari, Koko., dan Yusmawati. 1999/2000. Batik Pesisir, (Album Seni Budaya) Departemen Pendidikan Nasional. Suseno, Magnis.1985. Etika Jawa .Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama. Suswanto, Sewan.1980. Seni Kerajinan Batik di Indonesia. Jakarta: Departemen Perindustrian RI Yahya, Amri, 1976, Batik dan Sejarahnya, makalah seminar nasional menyongsong Solae Eclypse, Ambarukmo-Yogyakarta. *) Seminar Nasional dalam rangka “Pekan Batik Nasional di Pekalongan”, tanggal 27 Oktober 2010, disampaikan oleh Hajar Pamadhi, dosen Pendidikan Seni Rupa – FBS Universitas Negeri Yogyakarta, S. Harsana Ragil, staff pengajar Seni Budaya SMPN 8 Pekalongan [1] Dalam budaya Jawa, kata piwulang diartikan ajaran atau teks pelajaran yang disampaikan kepada peserta didik atau orang lain, dan paweling dimaknai pesan; arti keseluruhan piwulang – paweling adalah pelajaran yang berisi pesan-pesan baik terselubung (implisit) maupun tersurat. [2] Ruang publik bukan berarti masa fisik seperti public space, melainkan teks-teks yang dituliskan berupa narasi yang berisi pelajaran dan pesan dan dapat didiskusikan dalam bentuk gambar visual yaitu motif dan corak atau gaya. [3] Dari pola dan motif semen ini kemudian berkembang menjadi motif semen yang dikembangkan pada beberapa daerah, misalnya: “a. Batik Kraton - Kraton Yogyakarta (Semen Gurdho, Semen Sinom), Kraton Surakarta terdapat (semen gendhong, semen rama), Puro Pakualaman (semen Sidoasih), Puro Mangkunegaran (Semen Jolen), Cirebon (Semen Rama, Sawat Pengantin). b. Batik Pengaruh Kraton - Banyumas (Semen Klewer Banyumasan). c. Batik Sudagaran-Yogyakarta (Semen Sidoasih, Semen Giri), Surakarta (Semen Rama, Semen Kakrasana). d. Batik Pedesaan - Yogyakarta (Semen Rante), Surakarta (Semen Rama).
http://netsains.com/2010/03/makna-filosofis-motif-semen-romo/ [5] Motif dibedakan dengan gaya; motif adalah unsur dasar ornamen (ragam perhiasan) pada kain jejarit, sedangkan gaya adalah langgam maupun corak yang menunjukkan gambaran utuh serta merujuk kepada cirikhas daerah. Istilah motif dalam bahasa Jawa adalah wastra, artinya sesuatu obyek yang teliti dan mempunyai makna pada setiap unsure atau pun komponen obyek tersebut. Wastra lebih mendekatkan pada makna simbolis, oleh karenanya motif Semen dimaksudkan adalah unsure simbolis dalam motif tersebut. [6] Sedangkan kata Batik, secara etimologi berasal dari bahasa Jawa “mbat – tik”, mbat berarti membuat atau ngembat titik atau ceceg. Secara utuh pengertian ini menjadi menggambar (nyorek ) kain berupa ornamen (motif). Gambar tersebut dibuat dengan titik-titik yang tertata rapi dan berdekatan menjadi garis dengan malam melalui alat canting. (Kuswaji Kawendra Susanta, 1976). [7] Terdapat 7 ungkapan budaya, diantaranya adalah: (1) Sistem pranata Sosial dan penguasaan politik, (2) Sistem Ekonomi dan Mata pencaharian, (3) Sistem teknologi termasuk penguasaan alam, (4) Sistem Komunikasi atau bahasa, (5) Sistem rekigi sebagai ekspresi kepersayaan, (6) Estetika termasuk seni dan artefak, (7) [8] Pola Ceplok kuno Yogyakarta adalah dari keraton Kotagede (Mataram) sedangkan pola Ceplok Surakarta diciptakan setelah pembagian kerajaan Mataram menjadi dua. Kadang ada pola yang dinamakan sama tetapi polanya beda antara satu tempat dan lainnya, seperti pola ceplok Yogya kadang mempunyai nama sama dengan pola semen Surakarta, contohnya pola ceplok Kokrosono di Yogya kalau di Surakarta dikenal sebagai pola Semen. http://netsains.com/2010/03/makna-filosofis-motif-semen-romo/ [9] Diglosia sebenarnya diperuntukkan bahasa; prinsip diglosia adalah terdapatnya bahasa penghargaan yang mendapatkan pengaruh kuat dari pranata sistem masyarakat (sosial), misalnya bahasa Kromo Hinggil dipergunakan untuk kalangan atas sebagai behasa komunikasi bergensi, demikian pula madya, serta ngoko. Secara tidak sengaja merupakan gambaran kedudukan dalam sisten pranata sosial juga. [10] Dapat diterjemahkan: adapaun busana jejarit batik yang menjadi perintah pemakaian dan sekaligus larangan pemakaian adalah batik motif sawat, parangrusak, cumangkiri yang dikombinasikan dengan motif modang (daun muda yang sedang mekar)¸bangun tulak (berwarna hitam atau biru kehitam-hitaman), dan motif tumpal (segitiga yang menggambarkan gunung). Adapun batik bermotif cumangkirang yang dikombinasikan dan diselesaikan berupa ukel (ikal, relung, dan tetmbuhan seperti sulur) dan bunga yang sedang mekar saya perbolehkan mengenakan ialah Patih saya (setingkat perdana menteri) dan anak cucu (kerabat) saya, dan anak buah saya. | ||||
Rabu, 24 November 2010
BATIK MENEMBUS RUANG DAN WAKTU
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarmu berguna bagiku......