Peningkatan Profesionalisme Guru
Melalui Budaya Organisasi
Abstrak:Upaya peningkatan profesionalisme guru terus dilakukan melalui pening-katan kualifikasi akademik, perbaikan gaji,pendidikan dan latihan sampai pemberi-an tunjangan profesi.Hal yang belum banyak mendapatkan perhatian adalah pe-ningkatan budaya organisasi. Terdapat filosofi,bahwa kemampuan mengapresiasi dan menginterpretasikan budaya organisasi merupakan komponen manajemen pen-ting yang efektif.Organisasi memiliki sebuah struktur (aspek anatomis),pola kehi-dupan (aspek fisiologis) dan sistim budaya (aspek kultur) yang berlaku dan ditaati oleh anggotanya.Dalam dunia pendidikan , budaya organisasi dikenal sebagai bu-daya akademis.Ada empat budaya organisasi,yaitu:1) Budaya kekuasaan (Power Culture) yang memfokuskan pada penggunaan kekuasaan dalam cara memerintah , 2) Budaya Peran (Role Culture) yang dapat dilihat dari sejauh mana peran guru dalam merancang, merencanakan dan memberikan masukan terhadap pemben-tukan suatu nilai budaya kerja tanpa ada nya birokrasi dari pihak pimpinan., 3)Budaya Pendukung (Support Culture) yaitu adanya kelompok yang mendukung terhadap upaya integrasi nilai-nilai dalam organisasi,4)Budaya Prestasi (Achieve-ment Culture) yang menekankan terciptanya guru yang profesional, mandiri dan berprestasi dalam melaksanakan tugasnya. Ada lima profesionalisme di bidang keguruan,yaitu: 1) Profesionalisme material, merujuk pada penguasaan materi bahan ajar yang harus ditransformasikan kepada siswa, 2) Profesionalisme Meto- dologikal, merujuk pada penguasaan metode dan strategi serta seni mendidik, 3)Profesionalisme Sosial, merujuk pada kedudukan guru sebagai manusia biasa dan sebagai anggota masyarakat, 4)Profesionalisme Demokratis, mencerminkan miniatur demokrasi dalam proses belajar mengajarnya, 5)Profesionalisme Mana-jerial, guru harus dapat bertindak sebagai direktur,manajer atau fasilitator belajar.
Kata kunci: Profesionalisme,Guru,Budaya Organisasi.
Abstract: The effort to increase teacher’s professionalism is being done all the time through increasing academic qualification,salary improvement,training,until the giving of professional subsidy. Something that has not got any attention is the increasing of organization culture.There is a philosophy that the ability to appre- ciate and to interpretate organization culture is an important management compo-nent which is very effective.Organization has a structure(anatomy aspect),live pattern(physiology aspect) and cultural system(cultural aspect) that conductet and obeyed by the members.In educational world,organizational culture is known as academic culture.There are four organization culture,that is: 1)Power Culture which is focused on the use of power in how to order, 2)Role Culture which can be seen from how far is the teacher’s role in designing,planning and giving opinion to a value form of work culture without the existence of bureaucracy from the leader side, 3) Support Culture that is the existenceof groups which are supported to the effort of value integration in organization,4) Achievement Cul- ture which is focused on the creation of professional teacher, autonomous and achievement in doing the task.There are five professionalism in teacher ship field,that is: 1)Materi-al professionalism, refers to the teacher’s material competency which has to be transformed to the students,2) Methodological professionalism,refers to the compe-tency in method,strategy and art of educating,3) Social professionalism, refers to the teacher’s position as human being as the member of society,4) Democratic professionalism,reflects democracy miniature in the teaching learning process, 5) Managerial professionalism,a teacher has to act as a director,manager or learning facilitator.
Key words:Professionalism, Teacher, Organization Culture
Salah satu permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah rendahnya mutu pendidikan,khususnya pada jenjang pendidikan dasar dan mene- ngah.Berbagai upaya telah ditempuh,mulai dari pengembangan kurikulum, dan sistim evaluasi,perbaikan sarana pendidikan,pengembangan materi ajar, sampai pada peningkatan profesionalisme guru.
Peningkatan profesionalisme guru telah dilakukan dengan berbagai cara antara lain,peningkatan kualifikasi akademik,perbaikan gaji,pendidikan dan lati- han dan pemberian tunjangan profesi.Upaya tak kalah penting adalah peningkatan profesionalisme melalui peningkatan budaya organisasi.
Budaya
Edward Burnett Taylor secara luas mendefinisikan budaya sebagai :”…culture or civilization, taken in its wide ethnographic ense, is that complex whole wich includes knowledge,belief, art, morals, law, custom and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society” atau budaya juga dapat diartikan sebagai : “Seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya melalui proses belajar(Koentjaraningrat, 2001: 72 ).
Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari kita lebih memahami budaya dari sudut sosiologi dan ilmu budaya, padahal ternyata ilmu budaya bisa mempenga -ruhi terhadap perkembangan ilmu lainnya seperti ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). Sehingga ada beberapa istilah lain dari istilah budaya seperti budaya organisasi (organization culture) atau budaya kerja (work culture) ataupun biasa lebih dikenal lebih spesifik lagi dengan istilah budaya perusahaan (corpora- te culture). Sedangkan dalam dunia pendidikan dikenal dengan istilah kultur pem- belajaran sekolah (school learning culture) atau kultur akademis (Academic cul -ture)
Dalam dunia pendidikan mengistilahkan budaya organisasi dengan istilah kultur akademis yang pada intinya mengatur para pendidik agar mereka memaha-mi bagaimana seharusnya bersikap terhadap profesinya, beradaptasi terhadap rekan kerja dan lingkungan kerjanya serta berlaku reaktif terhadap kebijakan pimpinannya, sehingga terbentuklah sebuah sistem nilai, kebiasaan (habits), citra akademis, ethos kerja yang terinternalisasikan dalam kehidupannya sehingga mendorong adanya apresiasi dirinya terhadap peningkatan prestasi kerja baik terbentuk oleh lingkungan organisasi itu sendiri maupun dikuatkan secara organi -satoris oleh pimpinan akademis yang mengeluarkan kebijakan.
Fungsi pimpinan sebagai pembentuk kultur akademis diungkapkan oleh Peter, Dobin dan Johnson (1996) bahwa :
Para pimpinan sekolah khususnya dalam kapasitasnya menjalankan fungsinya sangat berperan penting dalam dua hal yaitu : a). Mengkonsep-tualisasikan visi dan perubahan dan b). Memiliki pengetahuan, keteram-pilan dan pemahaman untuk mentransformasikan visi menjadi etos dan kultur akademis kedalam aksi riil (Sudarwan Danim, 2003:74).
Jadi terbentuknya kultur akademis bisa dicapai melalui proses tranformasi dan perubahan tersebut sebagai metamorfosis institusi akademis menuju kultur akademis yang ideal. Budaya itu sendiri masuk dan terbentuk dalam pribadi seorang guru itu melalui adanya adaptasi dengan lingkungan, pembiasaan tata -nan yang sudah ada dalam etika pendidikan ataupun dengan membawa sistem nilai sebelumnya yang kemudian masuk dan diterima oleh institusi tersebut yang akhirnya terbentuklah sebuah budaya akademis dalam sebuah organisasi.
Pola pembiasaan dalam sebuah budaya sebagai sebuah nilai yang diakuinya bisa membentuk sebuah pola perilaku,dalam hal ini Ferdinand Tonnies membagi kebiasaan kedalam beberapa pengertian antara lain :
a) Kebiasaan sebagai suatu kenyataan objektif sehari-hari yang merupakan sebuah kelajiman baik dalam sikap maupun dalam penampilan sehari-hari. Seorang pendidik sebagai profesional, biasa berpenampilan rapi, berdasi dan berkeme- ja dan bersikap formal, sangat lain dengan melihat penampilan dosen institut seni yang melawan patokan formal yang berlaku didunia pendidikan dengan berpakaian kaos dan berambut panjang.
b) Kebiasaan sebagai Kaidah yang diciptakan dirinya sendiri yaitu kebiasaan yang lahir dari diri pendidik itu sendiri yang kemudian menjadi ciri khas yang membedakan dengan yang lainnya.
c) Kebiasaan sebagai perwujudan kemauan untuk berbuat sesuatu yaitu kebiasaan yang lahir dari motivasi dan inisatif yang mencerminkan adanya prestasi pribadi. ( Soerjono Soekanto,2003:174)
Budaya dan Kepribadian
Budaya secara individu itu berkorelasi dengan kepribadian, sehingga budaya berhubungan dengan pola perilaku seseorang ketika berhadapan dengan sebuah masalah hidup dan sikap terhadap pekerjaanya. Dilihat dari unsur perbe-daan, budaya juga menyangkut ciri khas yang membedakan antara individu yang satu dengan individu yang lain ataupun yang membedakaan antara profesi yang satu dengan profesi yang lain. Seperti perbedaan budaya seorang dokter dengan seorang guru, seorang akuntan dengan seorang spesialis, seorang professional dengan seorang amatiran.
Ciri khas ini bisa diambil dari hasil internalisasi individu dalam organisasi ataupun juga sebagai hasil adopsi dari organisasi yang mempengaruhi pencitraan sehingga dianggap sebagai kultur sendiri yang ternyata pengertiannya masih relatif dan bersifat abstrak. Kita lihat pengertian budaya yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Soerjono Soekanto mendefinisikan budaya sebagai : “Sebuah system nilai yang dianut seseorang pendukung budaya tersebut yang mencakup konsepsi abstrak tentang baik dan buruk. atau secara institusi nilai yang dianut oleh suatu organisasi yang diadopsi dari organisasi lain baik melalui reinventing maupun re-organizing”( Soerjono Soekanto,2003:174)
Budaya juga tercipta karena adanya adopsi dari organisasi lainnya baik nilai, jargon, visi dan misi maupun pola hidup dan citra organisasi yang dimani - festasikan oleh anggotanya. Seorang pendidik sebagai pelaku organisasi jelas berperan sangat penting dalam pencitraan sekolah jauh lebih cepat karena secara langsung berhadapan dengan siswa yang bertindak sebagai promotor pencitraan di masyarakat, sementara nilai pencitraan sebuah organisasi diambil melalui adanya pembaharuan maupun pola reduksi langsung dari organisasi sejenis yang berpe -ngaruh dalam dunia pendidikan.
Sebuah nilai budaya yang merupakan sebuah sistem bisa menjadi sebuah asumsi dasar sebuah organisasi untuk bergerak didalam meningkatkan sebuah kinerjanya, yang salah satunya terbentuknya budaya yang kuat yang bisa mempe -ngaruhi. McKenna dan Beech berpendapat bahwa : „Budaya yang kuat mendasari aspek kunci pelaksaan fungsi organisasi dalam hal efisiensi, inovasi, kualitas serta mendukung reaksi yang tepat untuk membiasakan mereka terhadap kejadian-keja- dian, karena etos yang berlaku mengakomodasikan ketahanan“( McKenna, et.al, Terj. Toto Budi Santoso , 2002: 19)
Budaya yang kuat akan mendukung terciptanya sebuah prestasi yang posi -tif bagi anggotanya dalam hal ini budaya yang diinternalisasikan pihak pimpinan akan berpengaruh terhadap sistem prilaku para pendidik dan staf dibawahnya baik didalam organisasi maupun diluar organisasi.
Secara lengkap budaya bisa merupakan nilai, konsep, kebiasaan, perasaan yang diambil dari asumsi dasar sebuah organisasi yang kemudian diinternalisasi -kan oleh anggotanya. Bisa berupa perilaku langsung apabila menghadapi perma -salahan maupun berupa karakter khas yang merupakan sebuah citra akademik yang bisa mendukung rasa bangga terhadap profesi dirinya sebagai guru, perasaan memiliki dan ikut menerapkan seluruh kebijakan pimpinan dalam pola komunika-si dengan lingkungan internal dan eksternal belajar. Lingkungan pembelajaran itu sendiri mendukung terhadap pencitraan diluar organisasi, sehingga dapat terlihat sebuah budaya akan mempengaruhi terhadap maju mundurnya sebuah organisasi. Seorang professional yang berkarakter dan kuat kulturnya akan meningkatkan kinerjanya dalam organisasi dan secara sekaligus meningkatkan citra dirinya.
Budaya Organisasi
Apabila dilihat dari bentuknya, organisasi merupakan sebuah masukan (input) dan luaran (output) serta bisa juga dilihat sebagai living organism yang memiliki tubuh dan kepribadian, sehingga terkadang sebuah organisasi bisa dalam kondisi sakit (when an organization gets sick).Organisasi sebagai suatu output (luaran) memiliki sebuah struktur (aspek anatomis), pola kehidupan (aspek fisio -logis) dan sistem budaya (aspek kultur) yang berlaku dan ditaati oleh anggotanya.
Dari pengertian organisasi sebagai output (luaran) inilah melahirkan istilah budaya organisasi atau budaya kerja ataupun lebih dikenal didunia pendidikan sebagai budaya akademis. Budaya lebih berkaitan dengan aspek-aspek informal dari organisasi daripada elemen-elemen resminya yang selalu dilambangkan dengan gambaran struktur.Budaya fokus pada nilai-nilai,keyakinan-keyakinan dan norma-norma individu serta bagaimana persepsi-persepsi ini bergabung atau bersatu dalam makna-makna organisasi.O’Neill(1994,hal.103)dari kutipan Tony Bush dan Marianne Coleman menjelaskan signifikansi kontemporer tentang konsep ini:
“Pentingnya memahami kultur organisasi terletak pada gagasan bahwa area-area aktifitas organisasi yang disepakati secara resmi hanya menghasilkan gambaran parsial tentang bagaimana dan kenapa sebuah organisasi berfungsi sebagaimana mestinya.Dengan demaikian manajer pendidikan memerlukan sebuah kerangka kerja analitis untuk mengidentifikasi elemen-elemen yang tidak terdokumentasi ,tidak resmi,dan tidak tersentuh,yang mempengaruhi cara organi -sasi tersebut berfungsi”
Menurut Torrington dan Weightman(1989) kultur organisasi adalah suatu karakteristik semangat dan keyakinan organisasi yang ditunjukkan,misalnya dalam norma-norma dan nilai-nilai yang secara umum berbicara tentang bagai -mana seharusnya orang bersikap terhadap orang lain,suatu sifat pola hubungan kerja yang harus dikembangkan dan dirubah.Norma-norma ini sangat dalam, asumsi-asumsi kaku yang tidak selalu diekspresikan,dan selalu diketahui tanpa bisa dipahami(Tony Bush dan Marianne Coleman, 2008:134)
Organisasi memiliki kultur melalui proses belajar, pewarisan, hasil adap- tasi dan pembuktian terhadap nilai yang dianut yaitu nilai yang terbukti manfaat -nya.Selain itu juga bisa melalui sikap kepemimpinan yaitu pendirian, sikap dan prilaku nyata bukan sekedar ucapan, pesona ataupun kharisma.
Dari pengertian diatas bisa disimpulkan bahwa budaya organisasi diartikan sebagai kristalisasi dari nilai-nilai serta merupakan kepercayaan maupun harapan bersama para anggota organisasi yang diajarkan dari generasi yang satu kegene -rasi yang lain dimana didalamnya ada perumusan norma yang disepakati para anggota organisasi, mempunyai asumsi, persepsi atau pandangan yang sama dalam menghadapi berbagai permasalahan dalam organisasi.
Hal-hal yang Mempengaruhi Budaya Organisasi
Pembentukan budaya organisasi terjadi tatkala anggota organisasi belajar menghadapi masalah, baik masalah-masalah yang menyangkut perubahan ekster-nal maupun masalah internal yang menyangkut persatuan dan keutuhan organi -sasi.
Pembentukan budaya akademis dalam organisasi diawali oleh para pendiri (founder) institusi melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
1. Seseorang mempunyai gagasan untuk mendirikan organisasi.
2. Ia menggali dan mengarahkan sumber-sumber, baik orang yang sepaham dan setujuan dengan dia (SDM), biaya dan teknologi.
3. Mereka meletakan dasar organisasi berupa susunan organisasi dan tata kerja.
Dalam organisasi juga perlu adanya nilai-nilai yang sama yang dianut seluruh warga organisasi.Nilai yang berlaku sama ini dianggap sebagai faktor-faktor yang membentuk budaya organisasi yangt dapat dibagi menjadi:
a). Share thing, misalnya pakaian seragam seperti pakaian PSH untuk guru, batik PGRI yang menjadi ciri khas organisasi tersebut.
b). Share saying, misalnya ungkapan-ungkapan bersayap, slogan, seperti didunia pendidikan terdapat istilah Tut wuri handayani.
c). Share doing, misalnya pertemuan, kerja bakti, kegiatan sosial sebagai bentuk aktifitas rutin yang menjadi ciri khas suatu organisasi.
d). Share feeling, turut bela sungkawa, aniversary, ucapan selamat, acara wisuda dan lain sebagainya.
Budaya dan Profesionalisme
Dalam perkembangan berikutnya dapat kita lihat ada keterkaitan antara budaya dengan disain organisasi atau hubungan budaya dengan keberhasilan suatu sekolah sesuai dengan design culture yang akan diterapkan. Untuk memahami disain organisasi tersebut, Harrison ( McKenna, etal, 2002: 65) membagi empat tipe budaya organisasi :
1.Budaya Kekuasaan (Power culture).
Budaya ini lebih memfokuskan sejumlah kecil pimpinan menggunakan kekuasa- an yang lebih banyak dalam cara memerintah. Budaya kekuasaan juga dibutuh -kan dengan syarat mengikuti esepsi dan keinginan anggota suatu organisasi.
Seorang dosen, seorang guru dan seorang karyawan butuh adanya peraturan dan pemimpin yang tegas dan benar dalam menetapkan seluruh perintah dan kebija -kannya. Karena hal ini menyangkut kepercayaan dan sikap mental tegas untuk memajukan institusi organisasi.
2.Budaya Peran (Role culture)
Budaya ini ada kaitannya dengan prosedur birokratis, seperti peraturan organi -sasi dan peran/jabatan/posisi spesifik yang jelas karena diyakini bahwa hal ini akan menstabilkan sistem. Keyakinan dan asumsi dasar tentang kejelasan status/ posisi/peranan yang jelas inilah akan mendorong terbentuknya budaya positif, yang jelas akan membantu menstabilkan suatu organisasi. Bagi seorang guru tetap, jauh lebih cepat menerima seluruh kebijakan akademis daripada guru tidak tetap yang hanya sewaktu-waktu hadir sesuai dengan jadwal mengajar. Hampir semua orang menginginkan suatu peranan dan status yang jelas dalam organisasi.
Bentuk budaya ini kalau diterapkan dalam budaya akademis dapat dilihat dari sejauhmana peran guru dalam merancang, merencanakan dan memberikan masukan (input) terhadap pembentukan suatu nilai budaya kerja tanpa adanya birokrasi dari pihak pimpinan. Jelas, masukan dari bawah lebih independen dan dapat diterima karena sudah menyangkut masalah personal dan bisa didukung oleh berbagai pihak melalui adanya perjanjian psikologis antara pimpinan dengan guru yang dibawahnya. Budaya peran yang diberdayakan secara jelas juga akan membentuk terciptanya profesionalisme kerja seorang guru dan rasa memiliki yang kuat terhadap peran sosialnya.
3.Budaya Pendukung (Support culture)
Budaya dimana didalamnya ada kelompok atau komunitas yang mendukung seseorang yang mengusahakan terjadinya integrasi dan seperangkat nilai bersa -ma dalam organisasi tersebut. Selain budaya peran dalam menginternalisasikan suatu budaya perlu adanya budaya pendukung yang disesuaikan dengan keya -kinan anggota dibawah. Budaya pendukung telah ditentukan oleh pihak pimpin- an ketika organisasi/institusi tersebut didirikan oleh pendirinya yang dituangkan dalam visi dan misi organisasi tersebut. Jelas didalamnya ada keselarasan antara struktur, strategi dan budaya itu sendiri. Dan suatu waktu bisa terjadi adanya perubahan dengan menanamkan budaya untuk belajar terus menerus (longlife education)
4.Budaya Prestasi (Achievement culture)
Budaya yang didasarkan pada dorongan individu dalam organisasi dalam suasa -na yang mendorong eksepsi diri dan usaha keras untuk adanya independensi dan tekananya ada pada keberhasilan dan prestasi kerja. Budaya ini sudah berlaku dikalangan akademisi tentang independensi dalam pengajaran, penelitian dan pengabdian serta dengan pemberlakuan otonomi kampus yang lebih menekan -kan terciptanya tenaga akademisi yang profesional, mandiri dan berprestasi dalam melaksanakan tugasnya.
Dari empat tipe budaya diatas,yang cukup mengena dalam kaitannya dengan pengaruh budaya terhadap kinerja seorang guru dapat dilihat dari budaya prestasi atau lebih tepat sebagai bentuk profesionalisme seorang guru.
Ada lima diskursus professional ( Danim, 2003:.126-127) yang berbeda diseputar profesionalisme keguruan yaitu antara lain :
1) Profesionalisme Material (Material Professionalism) merujuk pada kemampuan professional guru atau tenaga pengembang lain dilihat dari prespektif penguasaan material bahan ajar yang harus ditransformasikan dikelas ataupun diluar kelas.
2) Profesionalime Metodologikal (Methodological Professionalism) merujuk pada penguasaan metode dan strategi serta seni mendidik dan mengajar sehingga memudahkan proses belajar mengajar.
3) Profesionalisme Sosial (Social Professionalism) merujuk pada kedudukan guru dan tenaga pengembang lain sebagai manusia biasa dan sebagai anggota masyarakat dengan tidak kehilangan identitas budaya sebagai pendidik oleh karena bisa diajdikan contoh dan referensi prilaku dalam kehidupan masyara -kat.
4) Profesionalisme Demokratis (Democratic Professionalism) merujuk pada tugas pokok dan fungsi yang ditampilkan oleh guru dan tenaga pengembang lainnya harus beranjak dari, oleh dan untuk peserta didiknya sehingga mencerminkan miniatur demokrasi masyarakat.
5) Profesionalisme Manajerial (Managerial Professionalism) merujuk pada kedu -dukan guru bukanlah orang yang secara serta merta mentransmisikan bahan ajar saja tapi juga bertindak sebagai direktur, manajer atau fasilitator belajar.
Karakteristik Budaya Organisasi.
Untuk menentukan indikator secara pasti mengenai budaya organisasi jauh lebih sulit.Ada yang membagi budaya organisasi kedalam beberapa indikator, antara lain:
a). Aspek kualitatif (basic)
b). Aspek kuantitatif (shared) dan aspek terbentuknya
c). Aspek komponen (assumption dan beliefs),
d). Aspek adaptasi eksternal (eksternal adaptation)
e). Aspek Integrasi internal (internal integration) sebagai proses penyatuan budaya melalui asimilasi dari budaya organisasi yang masuk dan berpengaruh terhadap karakter anggota.
Ada pula yang membagi menjadi sepuluh indikator buadaya organisasi yaitu:
1. Jaminan diri (Self assurance)
2. Ketegasan dalam bersikap (Decisiveness)
3. Kemampuan dalam pengawasan (Supervisory ability)
4. Kecerdasan emosi (Intelegence)
5. Inisatif (Initiative)
6. Kebutuhan akan pencapaian prestasi (Need for achievement)
7. Kebutuhan akan aktualisasi diri (Need for self actualization)
8. Kebutuhan akan jabatan/posisi (Need for power)
9. Kebutuhan akan penghargaan (Need for reward)
10. Kebutuhan akan rasa aman (Need for security).
Penutup
Dari uraian diatas bahwa peningkatan kualitas kinerja seorang pendidik bisa dilakukan dengan memperhatikan kepuasan kerja secara intensif baik kepuas- an intrinsik maupun kepuasan ekstrinsik dan memperbaiki budaya organisasi yang hanya berorientasi tugas semata dengan menerapkan budaya kerja yang berorien -tasi kinerja, persaingan, yang disinergiskan dengan upaya re-inveting organisasi dan pengembangan jenjang karier secara berkala atau memperbaiki budaya orga -nisasi yang berpola paternalistik dengan budaya organisasi berpola profesional -isme.Sehingga para pendidik memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan secara langsung kepada rekan kerja ataupun kepada pihak pimpinan mengenai hal-hal yang menjadi hambatan psikologis dan komunikasi yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan baik instrinsik maupun ekstrinsik dan pihak pim -pinan senantiasa memperhatikan dan memegang teguh prinsip keadilan dan huma- nitas dalam pengembangan diri dimasa yang akan datang.
Agar membentuk kesadaran untuk tetap meningkatkan semangat dan budaya kerja yang inisiatif, kreatif dan penuh inovasi,pimpinan dapat mengem- bangkan budaya terbuka dan dorongan terhadap seluruh aktifitas akademis yang didukung oleh adanya penghargaan, pengakuan dan bersifat reaktif dan pro-aktif terhadap permasalahan akademis maupun non-akademis yang terjadi dikalangan pendidik yang sebenarnya bisa berakibat menurunnya citra dan semangat keke- luargaan antara pendidik dengan pihak pimpinan.
Peningkatan kepuasan kerja berupa materi maupun non-materi untuk meningkatkan kesejahteraan guru, kemudian tingkatkan budaya akademis yang berbasis pada peningkatan kompetensi, pengembangan jenjang pendidikan guru yang diseimbangkan dengan ketegasan dan kontrol sehingga tercipta budaya akademis yang kondusif. Serta tingkatkan profesionalisme kerja dalam pemberian jenjang jabatan tanpa menghilangkan budaya kekeluargaan yang kuat dan didasari adanya kontrol dan penghargaan serta pengakuan yang proporsional.
Buku Rujukan
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta : Rineka Cipta, 2001)
Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu Pengantar, (Jakarta : Grafindo, 2003)
Sudarwan Danim, Menjadi Komunitas Pembelajar, (Jakarta : Bumi Aksara, 2003)
Eugene McKenna dan Nic Beech, The Essence of : Manajemen Sumber Daya Manusia,Terj. Toto Budi Santoso, (Yogjakarta : Penerbit Andi, 2002)
Tony Bush & Marianne Coleman,Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan,(Yogyakarta:IRCiSoD,2008)
Melalui Budaya Organisasi
Abstrak:Upaya peningkatan profesionalisme guru terus dilakukan melalui pening-katan kualifikasi akademik, perbaikan gaji,pendidikan dan latihan sampai pemberi-an tunjangan profesi.Hal yang belum banyak mendapatkan perhatian adalah pe-ningkatan budaya organisasi. Terdapat filosofi,bahwa kemampuan mengapresiasi dan menginterpretasikan budaya organisasi merupakan komponen manajemen pen-ting yang efektif.Organisasi memiliki sebuah struktur (aspek anatomis),pola kehi-dupan (aspek fisiologis) dan sistim budaya (aspek kultur) yang berlaku dan ditaati oleh anggotanya.Dalam dunia pendidikan , budaya organisasi dikenal sebagai bu-daya akademis.Ada empat budaya organisasi,yaitu:1) Budaya kekuasaan (Power Culture) yang memfokuskan pada penggunaan kekuasaan dalam cara memerintah , 2) Budaya Peran (Role Culture) yang dapat dilihat dari sejauh mana peran guru dalam merancang, merencanakan dan memberikan masukan terhadap pemben-tukan suatu nilai budaya kerja tanpa ada nya birokrasi dari pihak pimpinan., 3)Budaya Pendukung (Support Culture) yaitu adanya kelompok yang mendukung terhadap upaya integrasi nilai-nilai dalam organisasi,4)Budaya Prestasi (Achieve-ment Culture) yang menekankan terciptanya guru yang profesional, mandiri dan berprestasi dalam melaksanakan tugasnya. Ada lima profesionalisme di bidang keguruan,yaitu: 1) Profesionalisme material, merujuk pada penguasaan materi bahan ajar yang harus ditransformasikan kepada siswa, 2) Profesionalisme Meto- dologikal, merujuk pada penguasaan metode dan strategi serta seni mendidik, 3)Profesionalisme Sosial, merujuk pada kedudukan guru sebagai manusia biasa dan sebagai anggota masyarakat, 4)Profesionalisme Demokratis, mencerminkan miniatur demokrasi dalam proses belajar mengajarnya, 5)Profesionalisme Mana-jerial, guru harus dapat bertindak sebagai direktur,manajer atau fasilitator belajar.
Kata kunci: Profesionalisme,Guru,Budaya Organisasi.
Abstract: The effort to increase teacher’s professionalism is being done all the time through increasing academic qualification,salary improvement,training,until the giving of professional subsidy. Something that has not got any attention is the increasing of organization culture.There is a philosophy that the ability to appre- ciate and to interpretate organization culture is an important management compo-nent which is very effective.Organization has a structure(anatomy aspect),live pattern(physiology aspect) and cultural system(cultural aspect) that conductet and obeyed by the members.In educational world,organizational culture is known as academic culture.There are four organization culture,that is: 1)Power Culture which is focused on the use of power in how to order, 2)Role Culture which can be seen from how far is the teacher’s role in designing,planning and giving opinion to a value form of work culture without the existence of bureaucracy from the leader side, 3) Support Culture that is the existenceof groups which are supported to the effort of value integration in organization,4) Achievement Cul- ture which is focused on the creation of professional teacher, autonomous and achievement in doing the task.There are five professionalism in teacher ship field,that is: 1)Materi-al professionalism, refers to the teacher’s material competency which has to be transformed to the students,2) Methodological professionalism,refers to the compe-tency in method,strategy and art of educating,3) Social professionalism, refers to the teacher’s position as human being as the member of society,4) Democratic professionalism,reflects democracy miniature in the teaching learning process, 5) Managerial professionalism,a teacher has to act as a director,manager or learning facilitator.
Key words:Professionalism, Teacher, Organization Culture
Salah satu permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah rendahnya mutu pendidikan,khususnya pada jenjang pendidikan dasar dan mene- ngah.Berbagai upaya telah ditempuh,mulai dari pengembangan kurikulum, dan sistim evaluasi,perbaikan sarana pendidikan,pengembangan materi ajar, sampai pada peningkatan profesionalisme guru.
Peningkatan profesionalisme guru telah dilakukan dengan berbagai cara antara lain,peningkatan kualifikasi akademik,perbaikan gaji,pendidikan dan lati- han dan pemberian tunjangan profesi.Upaya tak kalah penting adalah peningkatan profesionalisme melalui peningkatan budaya organisasi.
Budaya
Edward Burnett Taylor secara luas mendefinisikan budaya sebagai :”…culture or civilization, taken in its wide ethnographic ense, is that complex whole wich includes knowledge,belief, art, morals, law, custom and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society” atau budaya juga dapat diartikan sebagai : “Seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya melalui proses belajar(Koentjaraningrat, 2001: 72 ).
Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari kita lebih memahami budaya dari sudut sosiologi dan ilmu budaya, padahal ternyata ilmu budaya bisa mempenga -ruhi terhadap perkembangan ilmu lainnya seperti ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). Sehingga ada beberapa istilah lain dari istilah budaya seperti budaya organisasi (organization culture) atau budaya kerja (work culture) ataupun biasa lebih dikenal lebih spesifik lagi dengan istilah budaya perusahaan (corpora- te culture). Sedangkan dalam dunia pendidikan dikenal dengan istilah kultur pem- belajaran sekolah (school learning culture) atau kultur akademis (Academic cul -ture)
Dalam dunia pendidikan mengistilahkan budaya organisasi dengan istilah kultur akademis yang pada intinya mengatur para pendidik agar mereka memaha-mi bagaimana seharusnya bersikap terhadap profesinya, beradaptasi terhadap rekan kerja dan lingkungan kerjanya serta berlaku reaktif terhadap kebijakan pimpinannya, sehingga terbentuklah sebuah sistem nilai, kebiasaan (habits), citra akademis, ethos kerja yang terinternalisasikan dalam kehidupannya sehingga mendorong adanya apresiasi dirinya terhadap peningkatan prestasi kerja baik terbentuk oleh lingkungan organisasi itu sendiri maupun dikuatkan secara organi -satoris oleh pimpinan akademis yang mengeluarkan kebijakan.
Fungsi pimpinan sebagai pembentuk kultur akademis diungkapkan oleh Peter, Dobin dan Johnson (1996) bahwa :
Para pimpinan sekolah khususnya dalam kapasitasnya menjalankan fungsinya sangat berperan penting dalam dua hal yaitu : a). Mengkonsep-tualisasikan visi dan perubahan dan b). Memiliki pengetahuan, keteram-pilan dan pemahaman untuk mentransformasikan visi menjadi etos dan kultur akademis kedalam aksi riil (Sudarwan Danim, 2003:74).
Jadi terbentuknya kultur akademis bisa dicapai melalui proses tranformasi dan perubahan tersebut sebagai metamorfosis institusi akademis menuju kultur akademis yang ideal. Budaya itu sendiri masuk dan terbentuk dalam pribadi seorang guru itu melalui adanya adaptasi dengan lingkungan, pembiasaan tata -nan yang sudah ada dalam etika pendidikan ataupun dengan membawa sistem nilai sebelumnya yang kemudian masuk dan diterima oleh institusi tersebut yang akhirnya terbentuklah sebuah budaya akademis dalam sebuah organisasi.
Pola pembiasaan dalam sebuah budaya sebagai sebuah nilai yang diakuinya bisa membentuk sebuah pola perilaku,dalam hal ini Ferdinand Tonnies membagi kebiasaan kedalam beberapa pengertian antara lain :
a) Kebiasaan sebagai suatu kenyataan objektif sehari-hari yang merupakan sebuah kelajiman baik dalam sikap maupun dalam penampilan sehari-hari. Seorang pendidik sebagai profesional, biasa berpenampilan rapi, berdasi dan berkeme- ja dan bersikap formal, sangat lain dengan melihat penampilan dosen institut seni yang melawan patokan formal yang berlaku didunia pendidikan dengan berpakaian kaos dan berambut panjang.
b) Kebiasaan sebagai Kaidah yang diciptakan dirinya sendiri yaitu kebiasaan yang lahir dari diri pendidik itu sendiri yang kemudian menjadi ciri khas yang membedakan dengan yang lainnya.
c) Kebiasaan sebagai perwujudan kemauan untuk berbuat sesuatu yaitu kebiasaan yang lahir dari motivasi dan inisatif yang mencerminkan adanya prestasi pribadi. ( Soerjono Soekanto,2003:174)
Budaya dan Kepribadian
Budaya secara individu itu berkorelasi dengan kepribadian, sehingga budaya berhubungan dengan pola perilaku seseorang ketika berhadapan dengan sebuah masalah hidup dan sikap terhadap pekerjaanya. Dilihat dari unsur perbe-daan, budaya juga menyangkut ciri khas yang membedakan antara individu yang satu dengan individu yang lain ataupun yang membedakaan antara profesi yang satu dengan profesi yang lain. Seperti perbedaan budaya seorang dokter dengan seorang guru, seorang akuntan dengan seorang spesialis, seorang professional dengan seorang amatiran.
Ciri khas ini bisa diambil dari hasil internalisasi individu dalam organisasi ataupun juga sebagai hasil adopsi dari organisasi yang mempengaruhi pencitraan sehingga dianggap sebagai kultur sendiri yang ternyata pengertiannya masih relatif dan bersifat abstrak. Kita lihat pengertian budaya yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Soerjono Soekanto mendefinisikan budaya sebagai : “Sebuah system nilai yang dianut seseorang pendukung budaya tersebut yang mencakup konsepsi abstrak tentang baik dan buruk. atau secara institusi nilai yang dianut oleh suatu organisasi yang diadopsi dari organisasi lain baik melalui reinventing maupun re-organizing”( Soerjono Soekanto,2003:174)
Budaya juga tercipta karena adanya adopsi dari organisasi lainnya baik nilai, jargon, visi dan misi maupun pola hidup dan citra organisasi yang dimani - festasikan oleh anggotanya. Seorang pendidik sebagai pelaku organisasi jelas berperan sangat penting dalam pencitraan sekolah jauh lebih cepat karena secara langsung berhadapan dengan siswa yang bertindak sebagai promotor pencitraan di masyarakat, sementara nilai pencitraan sebuah organisasi diambil melalui adanya pembaharuan maupun pola reduksi langsung dari organisasi sejenis yang berpe -ngaruh dalam dunia pendidikan.
Sebuah nilai budaya yang merupakan sebuah sistem bisa menjadi sebuah asumsi dasar sebuah organisasi untuk bergerak didalam meningkatkan sebuah kinerjanya, yang salah satunya terbentuknya budaya yang kuat yang bisa mempe -ngaruhi. McKenna dan Beech berpendapat bahwa : „Budaya yang kuat mendasari aspek kunci pelaksaan fungsi organisasi dalam hal efisiensi, inovasi, kualitas serta mendukung reaksi yang tepat untuk membiasakan mereka terhadap kejadian-keja- dian, karena etos yang berlaku mengakomodasikan ketahanan“( McKenna, et.al, Terj. Toto Budi Santoso , 2002: 19)
Budaya yang kuat akan mendukung terciptanya sebuah prestasi yang posi -tif bagi anggotanya dalam hal ini budaya yang diinternalisasikan pihak pimpinan akan berpengaruh terhadap sistem prilaku para pendidik dan staf dibawahnya baik didalam organisasi maupun diluar organisasi.
Secara lengkap budaya bisa merupakan nilai, konsep, kebiasaan, perasaan yang diambil dari asumsi dasar sebuah organisasi yang kemudian diinternalisasi -kan oleh anggotanya. Bisa berupa perilaku langsung apabila menghadapi perma -salahan maupun berupa karakter khas yang merupakan sebuah citra akademik yang bisa mendukung rasa bangga terhadap profesi dirinya sebagai guru, perasaan memiliki dan ikut menerapkan seluruh kebijakan pimpinan dalam pola komunika-si dengan lingkungan internal dan eksternal belajar. Lingkungan pembelajaran itu sendiri mendukung terhadap pencitraan diluar organisasi, sehingga dapat terlihat sebuah budaya akan mempengaruhi terhadap maju mundurnya sebuah organisasi. Seorang professional yang berkarakter dan kuat kulturnya akan meningkatkan kinerjanya dalam organisasi dan secara sekaligus meningkatkan citra dirinya.
Budaya Organisasi
Apabila dilihat dari bentuknya, organisasi merupakan sebuah masukan (input) dan luaran (output) serta bisa juga dilihat sebagai living organism yang memiliki tubuh dan kepribadian, sehingga terkadang sebuah organisasi bisa dalam kondisi sakit (when an organization gets sick).Organisasi sebagai suatu output (luaran) memiliki sebuah struktur (aspek anatomis), pola kehidupan (aspek fisio -logis) dan sistem budaya (aspek kultur) yang berlaku dan ditaati oleh anggotanya.
Dari pengertian organisasi sebagai output (luaran) inilah melahirkan istilah budaya organisasi atau budaya kerja ataupun lebih dikenal didunia pendidikan sebagai budaya akademis. Budaya lebih berkaitan dengan aspek-aspek informal dari organisasi daripada elemen-elemen resminya yang selalu dilambangkan dengan gambaran struktur.Budaya fokus pada nilai-nilai,keyakinan-keyakinan dan norma-norma individu serta bagaimana persepsi-persepsi ini bergabung atau bersatu dalam makna-makna organisasi.O’Neill(1994,hal.103)dari kutipan Tony Bush dan Marianne Coleman menjelaskan signifikansi kontemporer tentang konsep ini:
“Pentingnya memahami kultur organisasi terletak pada gagasan bahwa area-area aktifitas organisasi yang disepakati secara resmi hanya menghasilkan gambaran parsial tentang bagaimana dan kenapa sebuah organisasi berfungsi sebagaimana mestinya.Dengan demaikian manajer pendidikan memerlukan sebuah kerangka kerja analitis untuk mengidentifikasi elemen-elemen yang tidak terdokumentasi ,tidak resmi,dan tidak tersentuh,yang mempengaruhi cara organi -sasi tersebut berfungsi”
Menurut Torrington dan Weightman(1989) kultur organisasi adalah suatu karakteristik semangat dan keyakinan organisasi yang ditunjukkan,misalnya dalam norma-norma dan nilai-nilai yang secara umum berbicara tentang bagai -mana seharusnya orang bersikap terhadap orang lain,suatu sifat pola hubungan kerja yang harus dikembangkan dan dirubah.Norma-norma ini sangat dalam, asumsi-asumsi kaku yang tidak selalu diekspresikan,dan selalu diketahui tanpa bisa dipahami(Tony Bush dan Marianne Coleman, 2008:134)
Organisasi memiliki kultur melalui proses belajar, pewarisan, hasil adap- tasi dan pembuktian terhadap nilai yang dianut yaitu nilai yang terbukti manfaat -nya.Selain itu juga bisa melalui sikap kepemimpinan yaitu pendirian, sikap dan prilaku nyata bukan sekedar ucapan, pesona ataupun kharisma.
Dari pengertian diatas bisa disimpulkan bahwa budaya organisasi diartikan sebagai kristalisasi dari nilai-nilai serta merupakan kepercayaan maupun harapan bersama para anggota organisasi yang diajarkan dari generasi yang satu kegene -rasi yang lain dimana didalamnya ada perumusan norma yang disepakati para anggota organisasi, mempunyai asumsi, persepsi atau pandangan yang sama dalam menghadapi berbagai permasalahan dalam organisasi.
Hal-hal yang Mempengaruhi Budaya Organisasi
Pembentukan budaya organisasi terjadi tatkala anggota organisasi belajar menghadapi masalah, baik masalah-masalah yang menyangkut perubahan ekster-nal maupun masalah internal yang menyangkut persatuan dan keutuhan organi -sasi.
Pembentukan budaya akademis dalam organisasi diawali oleh para pendiri (founder) institusi melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
1. Seseorang mempunyai gagasan untuk mendirikan organisasi.
2. Ia menggali dan mengarahkan sumber-sumber, baik orang yang sepaham dan setujuan dengan dia (SDM), biaya dan teknologi.
3. Mereka meletakan dasar organisasi berupa susunan organisasi dan tata kerja.
Dalam organisasi juga perlu adanya nilai-nilai yang sama yang dianut seluruh warga organisasi.Nilai yang berlaku sama ini dianggap sebagai faktor-faktor yang membentuk budaya organisasi yangt dapat dibagi menjadi:
a). Share thing, misalnya pakaian seragam seperti pakaian PSH untuk guru, batik PGRI yang menjadi ciri khas organisasi tersebut.
b). Share saying, misalnya ungkapan-ungkapan bersayap, slogan, seperti didunia pendidikan terdapat istilah Tut wuri handayani.
c). Share doing, misalnya pertemuan, kerja bakti, kegiatan sosial sebagai bentuk aktifitas rutin yang menjadi ciri khas suatu organisasi.
d). Share feeling, turut bela sungkawa, aniversary, ucapan selamat, acara wisuda dan lain sebagainya.
Budaya dan Profesionalisme
Dalam perkembangan berikutnya dapat kita lihat ada keterkaitan antara budaya dengan disain organisasi atau hubungan budaya dengan keberhasilan suatu sekolah sesuai dengan design culture yang akan diterapkan. Untuk memahami disain organisasi tersebut, Harrison ( McKenna, etal, 2002: 65) membagi empat tipe budaya organisasi :
1.Budaya Kekuasaan (Power culture).
Budaya ini lebih memfokuskan sejumlah kecil pimpinan menggunakan kekuasa- an yang lebih banyak dalam cara memerintah. Budaya kekuasaan juga dibutuh -kan dengan syarat mengikuti esepsi dan keinginan anggota suatu organisasi.
Seorang dosen, seorang guru dan seorang karyawan butuh adanya peraturan dan pemimpin yang tegas dan benar dalam menetapkan seluruh perintah dan kebija -kannya. Karena hal ini menyangkut kepercayaan dan sikap mental tegas untuk memajukan institusi organisasi.
2.Budaya Peran (Role culture)
Budaya ini ada kaitannya dengan prosedur birokratis, seperti peraturan organi -sasi dan peran/jabatan/posisi spesifik yang jelas karena diyakini bahwa hal ini akan menstabilkan sistem. Keyakinan dan asumsi dasar tentang kejelasan status/ posisi/peranan yang jelas inilah akan mendorong terbentuknya budaya positif, yang jelas akan membantu menstabilkan suatu organisasi. Bagi seorang guru tetap, jauh lebih cepat menerima seluruh kebijakan akademis daripada guru tidak tetap yang hanya sewaktu-waktu hadir sesuai dengan jadwal mengajar. Hampir semua orang menginginkan suatu peranan dan status yang jelas dalam organisasi.
Bentuk budaya ini kalau diterapkan dalam budaya akademis dapat dilihat dari sejauhmana peran guru dalam merancang, merencanakan dan memberikan masukan (input) terhadap pembentukan suatu nilai budaya kerja tanpa adanya birokrasi dari pihak pimpinan. Jelas, masukan dari bawah lebih independen dan dapat diterima karena sudah menyangkut masalah personal dan bisa didukung oleh berbagai pihak melalui adanya perjanjian psikologis antara pimpinan dengan guru yang dibawahnya. Budaya peran yang diberdayakan secara jelas juga akan membentuk terciptanya profesionalisme kerja seorang guru dan rasa memiliki yang kuat terhadap peran sosialnya.
3.Budaya Pendukung (Support culture)
Budaya dimana didalamnya ada kelompok atau komunitas yang mendukung seseorang yang mengusahakan terjadinya integrasi dan seperangkat nilai bersa -ma dalam organisasi tersebut. Selain budaya peran dalam menginternalisasikan suatu budaya perlu adanya budaya pendukung yang disesuaikan dengan keya -kinan anggota dibawah. Budaya pendukung telah ditentukan oleh pihak pimpin- an ketika organisasi/institusi tersebut didirikan oleh pendirinya yang dituangkan dalam visi dan misi organisasi tersebut. Jelas didalamnya ada keselarasan antara struktur, strategi dan budaya itu sendiri. Dan suatu waktu bisa terjadi adanya perubahan dengan menanamkan budaya untuk belajar terus menerus (longlife education)
4.Budaya Prestasi (Achievement culture)
Budaya yang didasarkan pada dorongan individu dalam organisasi dalam suasa -na yang mendorong eksepsi diri dan usaha keras untuk adanya independensi dan tekananya ada pada keberhasilan dan prestasi kerja. Budaya ini sudah berlaku dikalangan akademisi tentang independensi dalam pengajaran, penelitian dan pengabdian serta dengan pemberlakuan otonomi kampus yang lebih menekan -kan terciptanya tenaga akademisi yang profesional, mandiri dan berprestasi dalam melaksanakan tugasnya.
Dari empat tipe budaya diatas,yang cukup mengena dalam kaitannya dengan pengaruh budaya terhadap kinerja seorang guru dapat dilihat dari budaya prestasi atau lebih tepat sebagai bentuk profesionalisme seorang guru.
Ada lima diskursus professional ( Danim, 2003:.126-127) yang berbeda diseputar profesionalisme keguruan yaitu antara lain :
1) Profesionalisme Material (Material Professionalism) merujuk pada kemampuan professional guru atau tenaga pengembang lain dilihat dari prespektif penguasaan material bahan ajar yang harus ditransformasikan dikelas ataupun diluar kelas.
2) Profesionalime Metodologikal (Methodological Professionalism) merujuk pada penguasaan metode dan strategi serta seni mendidik dan mengajar sehingga memudahkan proses belajar mengajar.
3) Profesionalisme Sosial (Social Professionalism) merujuk pada kedudukan guru dan tenaga pengembang lain sebagai manusia biasa dan sebagai anggota masyarakat dengan tidak kehilangan identitas budaya sebagai pendidik oleh karena bisa diajdikan contoh dan referensi prilaku dalam kehidupan masyara -kat.
4) Profesionalisme Demokratis (Democratic Professionalism) merujuk pada tugas pokok dan fungsi yang ditampilkan oleh guru dan tenaga pengembang lainnya harus beranjak dari, oleh dan untuk peserta didiknya sehingga mencerminkan miniatur demokrasi masyarakat.
5) Profesionalisme Manajerial (Managerial Professionalism) merujuk pada kedu -dukan guru bukanlah orang yang secara serta merta mentransmisikan bahan ajar saja tapi juga bertindak sebagai direktur, manajer atau fasilitator belajar.
Karakteristik Budaya Organisasi.
Untuk menentukan indikator secara pasti mengenai budaya organisasi jauh lebih sulit.Ada yang membagi budaya organisasi kedalam beberapa indikator, antara lain:
a). Aspek kualitatif (basic)
b). Aspek kuantitatif (shared) dan aspek terbentuknya
c). Aspek komponen (assumption dan beliefs),
d). Aspek adaptasi eksternal (eksternal adaptation)
e). Aspek Integrasi internal (internal integration) sebagai proses penyatuan budaya melalui asimilasi dari budaya organisasi yang masuk dan berpengaruh terhadap karakter anggota.
Ada pula yang membagi menjadi sepuluh indikator buadaya organisasi yaitu:
1. Jaminan diri (Self assurance)
2. Ketegasan dalam bersikap (Decisiveness)
3. Kemampuan dalam pengawasan (Supervisory ability)
4. Kecerdasan emosi (Intelegence)
5. Inisatif (Initiative)
6. Kebutuhan akan pencapaian prestasi (Need for achievement)
7. Kebutuhan akan aktualisasi diri (Need for self actualization)
8. Kebutuhan akan jabatan/posisi (Need for power)
9. Kebutuhan akan penghargaan (Need for reward)
10. Kebutuhan akan rasa aman (Need for security).
Penutup
Dari uraian diatas bahwa peningkatan kualitas kinerja seorang pendidik bisa dilakukan dengan memperhatikan kepuasan kerja secara intensif baik kepuas- an intrinsik maupun kepuasan ekstrinsik dan memperbaiki budaya organisasi yang hanya berorientasi tugas semata dengan menerapkan budaya kerja yang berorien -tasi kinerja, persaingan, yang disinergiskan dengan upaya re-inveting organisasi dan pengembangan jenjang karier secara berkala atau memperbaiki budaya orga -nisasi yang berpola paternalistik dengan budaya organisasi berpola profesional -isme.Sehingga para pendidik memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan secara langsung kepada rekan kerja ataupun kepada pihak pimpinan mengenai hal-hal yang menjadi hambatan psikologis dan komunikasi yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan baik instrinsik maupun ekstrinsik dan pihak pim -pinan senantiasa memperhatikan dan memegang teguh prinsip keadilan dan huma- nitas dalam pengembangan diri dimasa yang akan datang.
Agar membentuk kesadaran untuk tetap meningkatkan semangat dan budaya kerja yang inisiatif, kreatif dan penuh inovasi,pimpinan dapat mengem- bangkan budaya terbuka dan dorongan terhadap seluruh aktifitas akademis yang didukung oleh adanya penghargaan, pengakuan dan bersifat reaktif dan pro-aktif terhadap permasalahan akademis maupun non-akademis yang terjadi dikalangan pendidik yang sebenarnya bisa berakibat menurunnya citra dan semangat keke- luargaan antara pendidik dengan pihak pimpinan.
Peningkatan kepuasan kerja berupa materi maupun non-materi untuk meningkatkan kesejahteraan guru, kemudian tingkatkan budaya akademis yang berbasis pada peningkatan kompetensi, pengembangan jenjang pendidikan guru yang diseimbangkan dengan ketegasan dan kontrol sehingga tercipta budaya akademis yang kondusif. Serta tingkatkan profesionalisme kerja dalam pemberian jenjang jabatan tanpa menghilangkan budaya kekeluargaan yang kuat dan didasari adanya kontrol dan penghargaan serta pengakuan yang proporsional.
Buku Rujukan
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta : Rineka Cipta, 2001)
Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu Pengantar, (Jakarta : Grafindo, 2003)
Sudarwan Danim, Menjadi Komunitas Pembelajar, (Jakarta : Bumi Aksara, 2003)
Eugene McKenna dan Nic Beech, The Essence of : Manajemen Sumber Daya Manusia,Terj. Toto Budi Santoso, (Yogjakarta : Penerbit Andi, 2002)
Tony Bush & Marianne Coleman,Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan,(Yogyakarta:IRCiSoD,2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarmu berguna bagiku......