Senin, 23 Februari 2009

PROGAM BANTUAN GURU



MEMBANTU PARA GURU MELALUI PROGRAM IN-SERVICE

Supervisi dan Pengembangan Staf
Sasaran Supervisi Pendidikan meliputi tiga domain,yaitu:
1.Pengembangan Pengajaran
2.Pengembangan Kurikulum
3. Pengembangan Staf
Pengembangan staf adalah hal yang lebih luas yang meliputi bekerja dengan perorangan dan kelompok baik dalam keadaan resmi maupun tidak,sedangkan pendidikan In-Service terbatas pada bekerja dengan kelompok dalam program pelatihan resmi.
Ben.M.Harris memberi konsep pendidikan in-service sebagai bagian pengembangan staf.Dia membagi pengembangan staf menjadi dua kategori: (1) Staffing, (2) Pelatihan.Termasuk dalam staffing adalah penyeleksian, penugasan, pengevaluasian, pemberhentian dan pemecatan staf.
Thomas J.Sergiovani dan Robert J.Starrat menggambarkan perbedaan antara pengembangan staf dan pendidikan in-service.Secara konseptual: pengembangan staf adalah bukan sesuatu yang dilakukan oleh sekolah kepada guru,namun sesuatu yang dilakukan guru untuk dirinya.Sedangkan pengembangan staf pada dasarnya berorientasi pada pertumbuhan.Dalam pendidikan in-service diperkirakan satu perangkat ide,kecakapan dan metoda yang dibutuhkan untuk pengembangan.Program in-service untuk para guru memberikan kepada staf pengajar suatu kesempatan untuk memperluas pengetahuan dan memperbaiki ketrampilan.

Peranan Supervisor dalam Pendidikan In-Service
Supervisor adalah pemimpin program in-service yang berusaha untuk menggerakkan diri guru.Langkah yang ditempuh supervisor:
1. Identifikasi kebutuhan
2. Menyusun Program
3. Pelaksanaan
Asumsi tentang Pendidikan In-Service
Fred H.Wood, Steven R.Thompson, dan Sister Frances Russel membuat asumsi sebagai berikut:
1.Semua personil sekolah harus dilibatkan
2. Perbaikan pendidikan memerlukan waktu dan merupakan hasil pengembangan staf.
3. Pendidikan in-service dapat memperbaiki kemempuan profesional.
4. Menggunakan prinsip belajar orang dewasa.
5. Kompetensi profesional pendidik sangat bervariasi.
6. Pertumbuhan profesional membutuhkan orang yang bertanggungjawab.
7. Kesehatan organisasi mempengaruhi keberhasilan program pengembangan profesional
8. sekolah merupakan unit utama perubahan.
9. Sekolah bertanggungjawab menyediakan sumberdaya dan pelatihan.
10. Kepala sekolah bertanggungjawab mengadopsi dan menerapkan program baru di sekolah.

Karakteristik Program In-Service yang Efektif
Menurut Patricia Kells dan Patricia J.Jamison, Leonard C.Burrello dan Tim Orbaugh terdapat enam hal utama yang menjadikan pendidikan in-service efektif:
1. Didukung oleh organisasi dimana dia berfungsi
2. Hasil program kerjasama
3. Berdasarkan kebutuhan peserta
4. Responsif terhadap kebutuhan peserta
5. Program dapat di akses
6. Dilaksanakan pada waktu yang sesuai

Model Pendidikan In-Service
Pendidikan in-service terdiri dari tiga fase yaitu, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.Langkah pertama dalam perencanaan adalah menetapkan kebutuhan,kemudian menentukan tujuan dan kegiatan yang diusulkan.Untuk meningkatkan partisipasi peserta ,perlu diberikan perangsang kepada mereka. Yang perlu dievaluasi pada pendidikan in-service adalah prestasi peserta dan seluruh kegiatan yang dilaksanakan.



MEMBANTU GURU DALAM KERJA KELOMPOK

Untuk menyelesaiakan pekerjaan sekolah,guru-guru harus belajar bersama-sama dalam kelompok.Salah satu tujuan supervisi adalah memperdalam kecakapan dalam bekerjasama.
Seorang supervisor harus memiliki kecakapan kepemimpinan.Mereka harus mengikuti pendekatan-pendekatan yang berorientasi terhadap demokrasi dan hubungan antar manusia tetapi harus mengerti kapan mereka harus menggunakan kekuasaannya,pendekatan yang berorientasi pada tugas.Para supervisor harus mampu mengatur waktu,ketegangan dan konflik mereka sendiri,sementara pada waktu yang sama membantu anggota staf melakukan hal tersebut.Para supervisor harus cakap menggunakan bahasa lisan,tertulis dan non verbal.Mereka harus membantu para guru untuk memahami fenomena budaya bahasa isyarat.
Seorang supervisor harus memberi contoh perilaku kepemimpinan kelompok yang demokratis dan membantu para guru mengembangkan kecakapan dan proses kelompok.

Hidup dalam Kelompok
Hidup dalam kelompok tidak terhindarkan dari kehidupan manusia sebagai makluk sosial.Sebagian besar pekerjaan manusia harus dilakukan melalui interaksi kelompok.Semua kelompok yang digeluti guru mempunyai tujuan tertentu,tujuan tersebut akan tercapai atau tidak tergantung pada kualitas kepemimpinan dalam kelompok, kualitas anggota kelompok dan ketrampilan interaksi anggota kelompok.

Supervisor sebagai Pimpinan Kelompok
Sebagai pimpinan, supervisor harus menunjukkan kapasitas yang bagus untuk memimpin anggotanya dan dapat menularkan jiwa kepemimpinannya kepada orang lain.Kepemimpinan adalah upaya mempengaruhi orang lain untuk ikut serta dalam pencapaian tujuan bersama.Seorang pemimpin harus memiliki: inisiatif, kemampuan mendorong orang lain, kemampuan mengambil keputusan, kepandaian, dan antusiasme.

Pengembangan Organisasi
Menurut Richard Beckhard pengembangan organisasi adalah usaha yang : 1) direncanakan, 2) meliputi seluruh bagian organisasi, 3) diatur dari atas untuk: 4) meningkatkan keefektifan organisasi dan kesehatan organisasi melalui: 5) campur tangan yang direncanakan dalam proses yang menggunakan ilmu pengetahuan ilmiah. Kunci pengembangan organisasi adalah:
· Interaksi kelompok
· Penguatan tim
· Resolusi konflik
· Pendidikan dalam institusi
· Perencanaan sistem-sistem
· Komunikasi
· Kolaborasi
· Agen pengubah
· Klarifikasi peran
· Perilaku kepemimpinan
Kunci yang lebih ringkas untuk pengembangan organisasi adalah:
1. Perencanaan
2. Waktu
3. Tekanan
Langkah perencanaan:
1. Menentukan tujuan pokok institusi
2. Menetapkan tujuan instruksional institusi
3. Memilih strategi
4. Mengidentifikasi sumber-sumber yang dibutuhkan
5. Mengimplementasikan strategi
6. Mengevaluasi kegiatan pencapaian tujuan
7. Meresikluskan aktifitas
Waktu dan Tekanan
Ada 16 tuntutan untuk meningkatkan efektifitas yang dihubungkan dengan waktu dan tekanan:
1. Menganalisa bagaimana penggunaan waktu
2. Tentukan prioritas
3. Hargai waktu
4. Mendelegasi kebijakan-kebijakan
5. Tentukan batas akhir
6. Kembangkan antusiasme
7. Konsentrasi secara total
8. Berusaha menghormati yang telah disetujui untuk dilaksanakan
9. Mengatur waktu
10. Menyadari dan bertanggungjawab bila harus berhenti karena lelah
11. Batasi waktu ketika rapat
12. Baca dan berusaha menemukan perbedaan dari apa yang anda baca
13. Bantulah ingatan anda dengan membuat catatan
14. Gunakan bantuan yang jelas secara hukum
15. Rencanakan pekerjaan untuk menghemat waktu
16. Gunakanlah waktu untuk meningkatkan ketrampilan.



MEMBANTU GURU MENGEVALUASI DIRI

Komponen Penilaian Kemampuan Guru
1. Self Evaluation adalah penilaian terhadap diri untuk mengukur kemampuan dimana supervisor dapat membantu dalam pelaksanaannya
2. Foemative Evaluation adalah penilaian berkelanjutan yang dilakukan oleh supervisor secara periodik,mengamati suasana kelas dan merundingkan dengan guru tersebut untuk membantu memperbaiki kemampuan mengajar.
3. Summative Evaluation adalah penilaian yang dilakukan setiap tahun oleh administrator yang tidak hanya bertujuan untuk memperbaiki pengajaran juga untuk membuat keputusan yang berhubungan dengan jabatan selanjutnya, kepemimpinan dan hal-hal yang berhubungan dengan penghargaan dan imbalan.

Sikap Guru terhadap Evaluasi Penampilannya
Beberapa guru di Amerika bersikap skeptis terhadap penilaian kemampuan dirinya sehingga menunjukkan hal-hal berikut:
1. Penilaian terhadap tingkah laku atau penampilan hanya diperuntukkan bagi siswa,guru berada diluar jangkauan penilaian
2. Selain guru tak ada seorangpun yang cakap membuat penilaian terhadap penampilan guru
3. Setiap guru telah mencapai derajat profesionalisme yang memadai sehingga evaluasi terhadap guru tidak perlu
4. Guru telah mengetahui bagaimana mengajar dan segala hal yang berhubungan dengan hal tersebut
5. Tak ada profesi yang beranggapan bahwa seorang profesional harus dievaluasi secara berkala
6. Guru adalah profesional sehingga segala usaha penilaian terhadap kinerjanya sia-sia
Ketakutan Guru yang Tersembunyi
Ketika merenungkan beberapa masalah dalam membantu guru untuk mengevaluasi diri terhadap beberapa sikap kuatir yang muncul antara lain:
1. Kekuatiran akan dipublikasikan dan kelemahan-kelemahannya akan diketahui masyarakat luas
2. Kekuatiran akan menjadi sasaran cemooh bila ia melakukan kesalahan
3. Kekuatiran akan segala kelemahannya akan mempengaruhi jabatan, pendapatan,promosi dan segala hal yang berhubungan dengan karier

Kompetensi-Kompetensi Sasaran Evaluasi
Tiga kecakapan yang diukur untuk menyimpulkan derajat kualitas penampilan guru:
1. Ketrampilan dalam pembelajaran
2. Kepribadian
3. Profesionalisme


MEMBANTU GURU BERDASARKAN PEDOMAN PERSEORANGAN

Evaluasi Formatif
Evaluasi formatif adalah penilaian yang dilakukan guru dengan supervisor pengajaran selama tahun tertentu untuk tujuan memperbaiki pengajaran. Sedangkan evaluasi sumatif adalah penilaian yang dilakukan guru dengan administrator yang bertujuan untuk membuat keputusan tentang masa jabatan,ketetapan dan lain-lain.Bila sistem sekolah sudah baik,supervisor pengajaran akan melayani evaluasi formatif sedangkan administrator akan melayani evaluasi sumatif.

Supervisi Klinis
Morris Cogan mendefinisikan supervisi klinis sebagai suatu perencanaan yang rasional dan praktis untuk memperbaiki penampilan guru di kelas. Menurut Robert H.Anderson dan Robert J.Krajewski ada sembilan karakter supervisi klinis:
1. Sebuah teknologi untuk memperbaiki pengajaran
2. Sengaja mengintervensi kedalam suatu proses pengajaran
3. Berorientasi pada tujuan,menggabungkan kebutuhan pertumbuhan sekolah dan personil
4. Menciptakan sebuah hubungan kerja antara guru dan supervisor
5. Menuntut saling percaya, sebagai refleksi saling pengertian, mendukung dan komitmen untuk berkembang
6. Sistematik, memerlukan fleksibilitas dan perubahan metodologi yang berkesinambungan
7. Menciptakan produktifitas yang tinggi untuk menjembatani gap ideal yang nyata
8. Menganggap supervisor lebih banyak tahu tentang instruksi dan pembelajaran daripada guru
9. Memerlukan pelatihan untuk supervisor
Peran Supervisor dalam Supervisi Klinis
Noreen Garman melihat peran supervisor sebagai teman,kepercayaan dan menghargai kolega.Garman menjelaskan supervisi klinis mencakup empat konsep:
1. Rekanan
2. Kolaborasi
3. Pelayanan ketrampilan
4. Etika tingkah laku

Tahapan dalam Supervisi Klinis
Ada empat tahapan dalam supervisi klinis:
1. Pertemuan sebelum observasi dan rencana untuk observasi
2. Observasi
3. Analisa data
4. Pertemuan setelah observasi
Pertemuan awal adalah tatap muka antara guru dan supervisor sebelum kunjungan supervisor ke ruang kelas.Pada pertemuan awal guru akan mengidentifikasi problem khusus mengenai pengajaran yang dihadapi dan hal-hal mana yang perlu dibantu.
Observasi kelas menuntut teknik level tinggi dan ketrampilan analisis.Supervisor harus tahu apa yang dicari,bagaimana melihat,bagaimana mencatat,dan bagaimana menganalisis data dan menyiapkan umpan baliknya.
Mosher dan Purpel menjelaskan beberapa faktor yang perlu diamati dalam observasi:
1. Kemauan guru untuk berkomunikasi
2. Logika strategi guru atau metode yang digunakan
3. Penampilan guru dari tugas instrumental
4. Efek motivasi dari pengajaran
5. Kualitas personal hubungannya dengan perkembangan antara guru dan murid.
` Setelah observasi,guru dan supervisor bertemu lagi untuk mengklirkan hal-hal yang terjadi, mencari fase mana yang diyakini banyak kesulitannya. Tujuan pertemuan akhir adalah untuk memberi umpan balik kepada guru mengenai penampilannya.
Diskusi dalam pertemuan akhir harus difokuskan pada data yang sudah dikoleksi oleh supervisor,bukan berdasarkan pengalaman supervisor,kebiasaan dan perasaan.Supervisor harus mencegah tindakan dan situasi yang mengancam guru.Oleh sebab itu ,pokok pertemuan yang dilakukan adalah observasi pengajaran,bukan observasi gurunya.


PENILAIAN ADMINISTRASI KINERJA GURU

Penilaian sumatif adalah semua penilaian dari kinerja guru oleh seorang administrator.Penilaian dilakukan secara periodik selama satu tahun yang bertujuan mengumpulkan data sebagai penilaian sumatif pada akhir tahun.Penilaian ini ditujukan pada personil bukan pada manajemen pengajaran.
Pada perguruan tinggi, penilaian sumatif bertujuan untuk menentukan kontrak,promosi dan kenaikan gaji.Pada sekolah umum penilaian ini berfungsi untuk meneruskan kontrak atau memindahkan guru ke sekolah lain atau tugas lain.

Siapa yang harus dievaluasi ?
Tentu saja guru,namun jawabannya tidak sesederhana itu.Apakah semua guru? Guru yang bersertifikat saja?Guru kontrak saja?

Siapa yang mengevaluasi ?
Pada umumnya yang bertanggungjawab mengevaluasi personilnya adalah kepala sekolah sebagai pemegang hak prerogratif.Supervisor pengajaran seharusnya dijauhkan dari evaluasi sumatif yang membutuhkan data yang sudah disediakan oleh oleh administrator untuk tindakan personil.

Apa yang seharusnya dievaluasi ?
Yang seharusnya dinilai adalah kecakapan guru dalam mengajar.Menurut John D.Mc Neil, kecakapan menunjukkan keefektifan tingkah laku guru-siswa, pengetahuan dasar, sikap dan keahlian. Ada beberapa pendapat tentang keefektifan pengajaran,pertama keefektifan mengajar berkaitan dengan metode yang digunakan dalam mengajar,guru yang menyukai muridnya lebih efektif daripada guru yang tidak menyukai muridnya,guru yang prestasi muridnya tinggi lebih efektif dari yang prestasi muridnya rendah. Kedua,keefektifan mengajar adalah gambaran apa yang dilakukan guru dengan langsung melakukan pengamatan kemudian mempelajarinya.Ketiga, mengumpulkan data empirik tentang tingkah laku pengajaran yang berkenaan dengan variabel pembelajaran tertentu..Keempat, gambaran dari kelompok guru atau kumpulan dari beberapa pendidik profesional.Dalam hal ini kepala sekolah akan mengevaluasi guru setiap saat untuk mengamati semua kecakapan khusus mereka.
Pada dasarnya ada tiga pendekatan evaluasi personil,yaitu:
1. Karakter individu
Karakter individu dan profesi dapat dilihat dari kehangatan, antusiasme dan keahlian berkomunikasi.
2. Hasil dari individu
Penilaian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan guru dalam mempromosikan prestasi siswa baik secara lokal maupun nasional.
3. Proses yang digunakan individu
Proses ini lebih mudah diamati dan dievaluasi daripada hasil dan karakter.Ketiga pendekatan tersebut dapat dievaluasi tetapi harus disetujui antara evaluator dan yang dievaluasi.

Bagaimana evaluasi dilakukan ?
Evaluasi seharusnya dilakukan secara terus menerus dan secara periodik.

Kunjungan Terjadwal dan Tidak Terjadwal
Kunjungan supervisi klinis seharusnya terjadwal dengan persetujuan guru..Untuk penilaian sumatif dapat merupakan gabungan antara kunjungan terjadwal dengan tidak terjadwal.Guru seharusnya dalam keadaan terbaik,kemudian sejumlah kunjungan yang cukup harus dibuat.Kunjungan tidak terjadwal dapat mengkonfirmasikan apakah penampilan yang dibuat pada saat pengamatan menunjukkan penampilan guru itu yang sesungguhnya.


Pengumpulan dan Pencatatan Data
Administrator harus menentukan data apa yang ingin mereka kumpulkan.Mereka juga harus memilih dan menciptakan instrumen untuk merekam pengamatan periodik dan penghargaan akhir.
Untuk pengamatan periodik di dalam kelas,instrumen yang digunakan harus mampu membantu evaluator menilai apa yang terjadi di dalam kelas.Sedangkan instrumen penilaian sumatif meliputi semua masalah pengamatan kelas plus hal-hal mengenai data yang harus diperoleh dengan cara lain seperti karakter pribadi dan profesional tertentu hasil dan proses dalam kegiatan diluar kelas.

Kompetensi, Indikator dan Deskriptor
Kompetensi didefinisikan sebagai perilaku atau keahlian tertentu dalam mengajar.Perencanaan pengajaran,respon siswa dan pengelolaan kelas adalah contoh kompetensi yang umum.Kompetensi harus dipahami secara detil,dan juga diperlukan suatu panduan untuk membuktikan bahwa guru mempunyai kompetensi tersebut, untuk itulah diperlukan suatu indikator yaitu perilaku yang mewakili kompetensi.Program penilaian guru Georgia membagi indikator menjadi deskriptor yang digunakan untuk menggambarkan kualitas kinerja guru sesuai indikator kompetensi.Deskriptor biasanya menggunakan pernyataan kalimat yang panjang dan diskor dengan skala 1 sampai 5. Indikator dan deskriptor sangat membantu dalam memahami kompetensi sebagai panduan bagi supervisi yang dilakukan oleh evaluator dan sebagai dasar penilaian.

Cara Menggunakan Data
Data yang diperoleh dari kinerja digunakan oleh administrator sebagai berikut:
1. Bahan pertemuan dengan guru.
Pertemuan antara guru dengan administrator mempunyai dua tujuan.Pertama, administrator berkesempatan memperoleh data selama kunjungan di kelas,memberikan kesempatan pada guru untuk menjelaskan materi yang sedang dinilai.Kedua,sebagai bahan penilaian.Aturan main antara administrator dengan supervisor berbeda.Supervisor hanya boleh mengatakan kepada guru yang bersangkutan mengenai kinerjanya,sementara administrator berhak mengatakan semua hal secara tertulis dan meneruskan ke kantor pengawas.Supervisor tidak berhak mengambil keputusan sehubungan dengan supervisi yang dilakukan sementara administrator berhak melakukannya.
2. Skorsing dan PHK
Keputusan memberikan skorsing jauh lebih mudah daripada keputusan PHK.PHK sangat berat bagi administrator,terlebih lagi bagi guru Alasan PHK biasanya ada tiga hal yaitu: ketidak patuhan, melakukan pelanggaran moral dan tidak kompeten.

Problema pada Evaluasi Sumatif
Adakalanya setelah menerima hasil penilaiannya,guru mengajukan pertanyaan: Bagaimana mungkin kepala sekolah dapat mengetahui kinerja saya sementara ia tidak pernah masuk sekalipun ke kelas?Atau : Dia hanya datang sekali ke kelas dan itupun hanya 10 menit.Salah satu kendala evaluasi sumatif adalah administrator tidak cukup mempunyai bukti baik buruknya kinerja guru.Guru harus disupervisi dan dievaluasi beberapa kali dalam setahun.Administrator juga tidak selayaknya membatasi diri untuk hanya berada beberapa menit didalam kelas sekali atau dua kali dalam setahun.Tidak akan ada penilaian sumatif bagi administrator yang tidak pernah sekalipun mengadakan kunjungan kelas!
Banyak kepala sekolah yang mewakilkan tugas supervisi kepada wakil kepala sekolah.Tidak ada yang salah dengan hal itu.Namun karena kepala sekolah yang akan menandatangani penilaian,membuat keputusan dan merekomendasikan ke pengawas,maka seharusnya kepala sekolah sendiri yang melaksanakan penilaian.Kepala sekolah seharusnya tidak puas kalau hanya memperoleh informasi dari pihak kedua.Apabila wakil kepala sekolah yang harus melakukan supervisi,melakukan pertemuan dengan guru dan mengevaluasinya maka ia pulalah yang harus menandatangani dan mempertanggungjawabkannya dikemudian hari bila ada masalah.
Permasalahan lainnya adalah kurangnya umpan balik dari guru.Guru harus menyadari bahwa mereka masih harus meningkatkan kemampuan meskipun mendapatkan nilai yang tinggi.

PASUA 2008







PASUA SMAGA gak mau kalah dengan PASTIGA ikut meramaikan dengan menyanyikan suaranya yang elok dengan di awali pemanasan suara oleh pembinanya, siapa lagi kalau bukan Pak Saiful atau nama kerennya pasha.
DAFTAR PESERTA TIM PADUAN SUARA
SMAN 3 - PEKALONGAN
2008-2009
AJI SANJAYA
DANI NUR PRABOWO
FELLA OKTARIA DANI
P
FRIDA AMELIA INDA KUSUMA
FRIESSANTI ADI VALINDYASARI
IMAM BAGUS CARITO
KHIKMATUL MAULA
KIKI RUKIANA
KIRANA PUTRI MAWARDHANY
KRISTAKA SURYA WIJAYA
MAULIDA RAHMAWATI

META FADINA PUTRI
MIFTAKHUL KARIMAH
NISAUL KAMILA
NUR AFU ISTATIK

SAPUTRI LEGIANI
YOGI RAHABISTARA
ZUMAR ARIF WICAKSONO
BAGUS YUDO SETYAWAN
DAMAR ADI NUGROHO
DEKKI SUSILO
DEVY DWIOKTAVIANI
DWI MELAWATI WIDODO
FATKHUL UMAM
IDA FATIMAH
INDAH TRIASTUTI
LI'LLI NUR INDAH SARI
MOHAMAD SIDIK
MUHAMMAD LABIB
RESTIA MARTIANI LATIF
SONNY FITRA ARFIAN
TINA FITRIYANI
TRIYANI ELIAWATI
YES'SE
YUNIA RAHMAWATI
YUNITA AYU BASNINDAR PUTRI
FERRY MARANATA
HANNA RIYANTI TERESA WIDODO
KANIA RIZKI SALSABILA
KRISNA ADESYA
KURNIA SARI
M. SIROJUL MUKHLASIN
MONICA DAMAYANTI
MUCHIB ABDULLAH
MUHAMMAD JAMALUDDIN
MUMTAZAL ADMI
SAHDA SABILLA WARDHANA
SITI KHIKMAH
TRIAFNI AZWARA FIKRIANSYAH
TRISIANA SAPUTRI
VINA WINE
ANGGA PRASETYA WIDYATAMA
ARISKA TIARA MULYA HIKHMAWATI
ATIK FATINA
ATRIESCA YUNDITA AYUNINGTYAS
BELGIS NOOR AINI
DEWI SAFARINA MAULIDA
DIAZ MARTHA SOVIANA
HENI MAYSAROH
INDAH RAHMAWATI
MAVIDHOTUL KHASANAH
MUHAMMAD FITRIANTO
RAHMAT AJI PUTRA
RIZKY URIP YULIANA
ROSA MAHARANI
ROSALIA DWI AYU SAPUTRI
SYAEFUL
SYIFA ADILLA
TRI WAHYU KURNIASIH
VEMY EM NINA SEMBIRING
WICAKSONO ADI NUGROHO
WIRANTI DIAH LUPITASARI
ADE RIZKY SETIAWAN
AGI INDRA PRASTYAWAN
ALBERTUS NOVALINO
BAYU YUDHASENA ANINDITA HP
DANDY PRADANA SYAHPUTRA
INDESWARI WIRA PRATIWI
JIWO KUSUMO AJI
PRAMODA FIRMAN
PUSPITA PROBOSARI
SWASONO ADHI HATMOJO
BAYU ANANDI
BRYAN WISNU SAPUTRA
FAHMI KHAMIS AL JAIDI
FARAH ADIBA
FLORIAN BAGUS HARIESTANTO
HUDAN MUTAQIEN GUMILANG
JOHAN KAMALUDIN
KAMAL AL FARRA
4035
KRESNANTO S
NIMAS RAGIL ASMARA
NUR AFIFAH
RIFKI RIYADI
ROSSA ALVERINA HARISQI
SONIA DARA MARCHELINA





HUT PASTIGA











Hari ini PASTIGA merayakan ultahnya yang ke-2, di awali dengan pelatihan selama dua hari di lingkungan SMA3, di lanjutkan pagi ini dengan upacara dan "show of force" kepiawaian mereka dalam baris berbaris.

KETUA PGRI RANTING SMA


PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA (PGRI)
RANTING SMA NEGERI 3 PEKALONGAN
Alamat : Jl. Progo 28 Pekalongan Telp (0285) 421035
========================================



SUSUNAN PENGURUS
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA (PGRI)
RANTING SMAN 3 PEKALONGAN
PERIODE 2007-2012




PEMBINA : DRS.SOEROSO
KETUA : AGUS CIPTONO,S.Pd
SEKRETARIS : SAIFUL FALLAH, S.Pd
BENDAHARA : SRI HARTINI, S.Pd
ANGGOTA : SELURUH GURU DAN KARYAWAN SMAN 3 PEKALONGAN







PEKALONGAN, 14 N0VEMBER 2007




MENGETAHUI KETUA
PEMBINA




DRS.SOEROSO AGUS CIPTONO, S.Pd
NIP. 131797891 NIP. 500109706

PROPOSAL TESIS

A. JUDUL
PENGARUH PENGELOLAAN WAKTU KEGIATAN LABORATORIUM BERWAWASAN INKUIRI TERBIMBING TERHADAP PENINGKATAN KOMPETENSI BERKOMUNIKASI ILMIAH

B. LATAR BELAKANG
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan merupakan kurikulum berbasis kompetensi karena lebih menekankan pada kompetensi-kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa. Kompetensi-kompetensi yang harus dikuasai siswa tersebut dijabarkan mulai dari silabus yang kemudian terdapat indikator pencapaian kompetensi. Pada kurikulum sains (IPA: Kimia, Biologi dan Fisika) dikembangkan berbagai macam kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa. Salah satu kompetensi yang dituntut pada mata pelajaran sains adalah kemampuan melakukan kerja ilmiah.
Berdasarkan panduan Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaiaan yang dikeluarkan oleh Depdiknas (2003) kerja ilmiah mempunyai 4 (empat) kompetensi dasar yaitu: merencanakan penelitian ilmiah, melaksanakan penelitian ilmiah, mengkomunikasikan hasil penelitian ilmiah dan bersikap ilmiah.

Untuk mengembangkan empat macam kompetensi tersebut dapat dilakukan melalui pembelajaran kepada siswa dalam kegiatan laboratorium dengan melakukan percobaan dengan berwawasan inkuiri. Hal ini disebabkan pada pelaksanaan kegiatan laboratorium siswa banyak menggunakan ketrampilan proses secara ilmiah. Ketrampilan proses ilmiah ini meliputi kegiatan mengamati, mengumpulkan data, mengajukan pertanyaan, menyusun hipotesis, merancang percobaan dan menarik kesimpulan.
Menurut Semiawan (1992) komunikasi ilmiah dapat dilakukan secara verbal (lisan) maupun dengan non verbal (tulisan). Berkomunikasi secara verbal dapat dilakukan dengan cara mengadakan seminar atau mengundang orang lain untuk menyampaikan ide-idenya sehingga orang lain dapat memberikan penilaian atau menanggapinya. Sedangkan secara non verbal dapat dilakukan dengan membuat laporan hasil penelitian yang memuat data-data, gambar, grafik atau sejenisnya dalam rangka mendukung hasil yang didapat sehingga dapat dibaca oleh orang lain.

Indikator yang terdapat pada kompetensi komunikasi ilmiah antara lain: membuat dan menafsirkan tabel, menerapkan konsep, membuat dan menafsirkan grafik serta menyimpulkan. Laporan kegiatan praktikum dapat berfungsi sebagai cara untuk mengembangkan kompetensi komunikasi ilmiah.
Dengan model pembelajaran berwawasan inkuiri siswa dapat lebih terlibat aktif dalam kegiatan laboratorium serta dapat mengembangkan aspek afektif dan psikomotor siswa , dan hal ini perlu menjadi perhatian bagi para guru untuk melakukan penilaian secara khusus terhadap aspek afektif dan psikomotor dengan menyesuaikan aspek-aspek yang hendak diakses pada setiap kegiatan laboratoium.

Kimia sebagai mata pelajaran sains mempunyai 3 ranah penilaian yaitu : kognitif, afektif dan psikomotor. Untuk penilaian kognitif dapat dilakukan dengan cara mengadakan test tertulis, sedangkan untuk ranah psikomotor dapat dilakukan dengan kegiatan laboratorium. Selain ujian tertulis,kimia juga diujikan secara praktik. Banyak kendala yang ditemui oleh siswa ketika mengerjakan soal praktek karena tidak tahu harus mengerjakan apa terlebih dahulu. Kebingungan siswa ini selain siswa kurang memahami cara kerja alat dan variabel yang hendak di ukur,juga dikarenakan dalam kegiatan praktikum guru hanya memberikan langkah kerja yang harus dilakukan oleh setiap siswa.

Aspek penting lain yang mendukung keberhasilan belajar siswa adalah aspek pengelolaan waktu.Masalah waktu sering diabaikan oleh guru maupun penyusun jadwal kegiatan laboratorium.Pada umumnya penyusun jadwal di sekolah tidak mau direpotkan dengan masalah waktu,yang penting kegiatan pembelajaran dilaksanakan antara pukul 07.00 sampai dengan 14.00,kecuali untuk mata pelajaran olahraga.Asumsi bahwa melaksanakan kegiatan laboratorium disembarang waktu tidak berpengaruh terhadap kualitas pencapaian hasil belajar siswa masih perlu dibuktikan dengan penelitian.
Berdasarkan hal tersebut, penulis terinspirasi untuk melakukan penelitian pengaruh pengelolaan waktu terhadap peningkatan kompetensi berkomunikasi ilmiah siswa SMA kelas XI Ilmu Alam pada pokok bahasan laju reaksi. Pokok bahasan ini dipilih karena selain memungkinkan dilakukan dengan kegiatan laboratorium, materi tersebut akan lebih bermakna jika dilakukan dengan melakukan kegiatan laboratorium.
Berdasar hal tersebut maka penulis melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Pengelolaan Waktu Kegiatan Laboratorium Berwawasan Inkuiri Terbimbing Terhadap Peningkatan Kompetensi Berkomunikasi Ilmiah”

C. PERUMUSAN MASALAH
Masalah yang diangkat dan akan dicari jawabannya pada penelitian ini adalah:
1. Seberapa besar pengaruh waktu kegiatan laboratorium terhadap peningkatan kompetensi berkomunikasi ilmiah?
2. Dengan kegiatan laboratorium berwawasan inkuiri terbimbing, ketrampilan apa sajakah yang dapat dikembangkan dari siswa dalam berkomunikasi ilmiah?

D. PENEGASAN ISTILAH
1. Kompetensi komunikasi ilmiah (mengkomunikasikan hasil kerja/penelitian ilmiah) merupakan salah satu kompetensi dasar dari kegiatan ilmiah yang mempunyai bebarapa indikator didalamnya. Tujuan yang hendak dicapai pada kompetensi komunikasi ilmiah ini adalah siswa dituntut mampu menyajikan hasil penelitian/kerja ilmiah dengan berbagai cara (lisan atau tulisan) kepada berbagai kelompok sasaran untuk berbagai tujuan (Depdiknas, 2003b:3)
2. Kegiatan laboratorium berbasis inkuiri adalah kegiatan laboratorium yang memungkinkan siswa untuk melakukan berbagai kegiatan antara lain : (1) mengeksplorasi gejala alam dan menyatakan permasalahan, (2) menyusun dan mengusulkan jawaban dugaan sementara (hipotesis), (3) mendesain dan melaksanakan cara pengujian hipotesis, (4) mengorganisasikan dan menganalisa data yang diperoleh , (5) merumuskan /menarik kesimpulan.
E. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Mendeskripsikan pengaruh waktu kegiatan laboratorium terhadap peningkatan kompetensi berkomunikasi ilmiah.
2. Mendeskripsikan ketrampilan-ketrampilan proses sains yang dapat dikembangkan dalam kegiatan laboratorium berwawasan inkuiri terbimbing.

F. MANFAAT PENELITIAN
1. Bagi guru,dapat menjadi dasar saat penyusunan jadwal kegiatan laboratorium
2. Bagi siswa, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengalaman untuk melakukan kerja ilmiah dalam belajar kimia berwawasan inkuiri yang akan berguna saat siswa belajar pada jenjang berikutnya.

G. LANDASAN TEORI
1. Kurikulum 2004 dan KTSP
Untuk memperoleh sebuah konsep memerlukan sebuah proses. Dengan memahami fakta dan konsep yang sederhana secara benar maka konsep dan fakta yang lebih rumit akan dapat dipahami dengan benar pula. Mulai dari pemberian fakta dan konsep yang sedikit dan sederhana diharapkan siswa dapat terpancing dan tertarik menemukan hal yang lebih komplek. Untuk itu diperlukan suatu ketrampilan proses yang lebih menitik beratkan pada bagaimana siswa belajar, bagaimana proses pemerolehannya dan dapat dikembangkan untuk memecahkan persoalan yang lebih rumit.

Standar kompetensi bahan kajian sains yang diambil dalam penelitian ini adalah kompetensi dasar kerja ilmiah. Kompetensi yang dapat dikembangkan pada kerja ilmiah adalah sebagai berikut (Depdiknas,2003b:3) :


a. Merencanakan penelitian ilmiah
Siswa mampu mernbuat perencanaan penelitian sederhana antara lain menetapkan dan merumuskan tujuan penelitian, langkah kerja., hipotesis, variabel dan instrumen yang tepat untuk tujuan pendidikan.
b. Melaksanakan penelitian ilmiah
Siswa mampu melaksanakan langkah-langkah kerja ilmiah yang terorganisir dan menarik kesimpulan terhadap hasil temuannya.
c. Mengkomunikasikan hasil penelitian ilmiah
Siswa mampu menyajikan hasil penelitian dan kajiannya dengan berbagai cara kepada berbagai kelompok sasaran untuk berbagai tujuan.
d. Bersikap ilmiah
Siswa mengembangkan sikap ilmiah antara lain keingintahuan, berani dan santun, kepedulian lingkungan, berpendapat secara ilmiah dan kritis, bekerjasama, jujur dan tekun.

KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang mulai diterapkan secara nasional pada tahun pembelajaran 2007/2008 sebagai langkah penyempurnaan kurikulum 2004 (bukan kurikulum 2006) dalam standar isi mata pelajaran kimia tingkat SMA/MA (Depdiknas, 2006: 507) Ilmu Pengetahuan (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala alam secara sistematis,sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta,konsep-konsep,atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan.Kimia merupakan ilmu yang termasuk rumpun IPA,oleh karenanya kimia mempunyai karakteristik sama dengan IPA.Karakteristik tersebut adalah obyek ilmu kima,cara memperoleh,serta kegunaan.Kimia merupakan ilmu yang pada awalnya diperoleh dan dikembangkan berdasarkan percobaab(induktif) namun pada perkembangan selanjutnya kimia juga diperoleh dan dikembangkan berdasarkan teori(deduktif).Ada dua hal yang berkaitan dengan kimia yang tidak terpisahkan,yaitu kimia sebagai produk(pengetahuan kimia yang berupa fakta,konsep,prinsip,hukum,dan teori) temuan ilmuwan dan kimia sebagai proses(kerja ilmiah).Oleh sebab itu,pembelajaran kimia dan penilaian hasil belajar kimia harus memperhatikan karakteristik ilmu kimia sebagai proses dan produk.

Sedangkan tujuan pelajaran kimia di SMA pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Depdiknas, 2006:508) agar peserta didik mempunyai kemampuan sebagai berikut :
1. Membentuk sikap positif terhadap kimia dengan menyadari keteraturan dan keindahan alam serta mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa
2. Memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, obyektif, terbuka, ulet, kritis dan dapat bekerjasama dengan orang lain
3. Menerapkan metode ilmiah melalui percobaan atau eksperimen,dimana peserta didik melakukan pengujian hipotesis dengan merancang percobaan melalui pemasangan instrumen,pengambilan,pengolahan,dan penafsiran data,serta menyampaikan hasil percobaan secara lisan dan tertulis.
4. Meningkatkan kesadaran tentang terapan kimia yang dapat bermanfaat dan juga merugikan bagi individu,masyarakat,dan lingkungan serta menyadari tentang pentingnya mengelola dan melestarikan lingkungan demi kesejahteraan masyarakat.
5. Memahami konsep,prinsip,hukum,dan teori kimia serta saling keterkaitannya dan penerapannya untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari dan teknologi.
6. Menggunakan pengetahuan dasar kimia dalam kehidupan sehari-hari,dan memiliki kemampuan dasar kimia sebagai landasan dalam mengembangkan kompetensi di masing-masing bidang keahlian.

2. Inkuiri terbimbing
Pembelajaran sains di banyak sekolah kurang melibatkan ketrampilan proses Pengajaran sains sering hanya ditekankan pada penghafalan rumus-rumus ataupun konsep-konsep sehingga pengajaran sains lebih ditekankan pada produk daripada proses-proses sains itu sendiri.
Menyikapi kondisi tersebut para ahli pendidikan telah dan terus berusaha dalam mengembangkan pembelajaran sains. Salah satunya adalah dengan mengembangkan metode mengajar yang menekankan keterlibatan siswa dalam proses belajar yang aktif melalui kegiatan-kegiatan yang berorientasikan pada inkuiri. Kegiatan inkuiri menurut Amien (1987:126) adalah suatu kegiatan atau pelajaran yang dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses mentalnya sendiri.
Bagi seorang siswa yang membuat penemuan-penemuan, harus melakukan proses-proses mental, misalnya mengamati, menggolongkan, membuat dugaan sementara, menjelaskan, mengukur, menarik kesimpulan, dan sebagainya.
Model inkuiri didefinisikan oleh Piaget (Sund dan Trowbridge, 1973) sebagai: pembelajaran yang mempersiapkan situasi bagi anak untuk melakukan eksperimen sendiri; dalam arti luas ingin melihat apa yang terjadi, ingin melakukan sesuatu, ingin menggunakan simbol-simbol dan mencari jawaban atas pertanyaan sendiri, menghubungkan penemuan yang satu dengan penemuan yang lain, membandingkan apa yang ditemukan dengan yang ditemukan orang lain.

Model pembelajaran inkuiri bertujuan membantu siswa untuk mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk membangkitkan pertanyaan yang muncul dari rasa keingintahuannya dan upaya mencari jawaban secara mandiri.
Metode inkuiri memberi ruang kepada siswa untuk bertanya : mengapa peristiwa terjadi ?, kemudian berusaha menghimpun data dan mengolahnya, sehingga dengan caranya itu dapat menentukan jawaban yang bersifat sementara(hipotesis).

Menurut jenisnya inkuiri dibagi menjadi dua , yaitu inkuiri bebas dan inkuiri terbimbing. Pada jenis inkuri bebas siswa melakukan kegiatan tanpa petunjuk khusus dan lagkah dari guru. Sehingga pengetahuan awal siswa menjadi sangat penting. Pada inkuiri bebas kemampuan awal siswa dituntut harus tinggi sehingga tidak semua sekolah maupun siswa dapat menggunakan metode ini. Sedangkan inkuiri terbimbing masih memungkinkan guru memberikan arahan yang cukup sehingga siswa tahu apa yang harus dilakukan. Syarat menggunakan pendekatan ini lebih lunak dibandingkan inkuiri bebas sehingga hampir semua siswa dapat melakukan bersama guru bidang studi masing-masing.

Keunggulan metode inkuiri menurut Roestiyah (1998) siswa akan memahami konsep dasar dan menemukan ide-ide lebih baik; menghindarkan siswa dari cara belajar menghafal; kegiatan belajar mengajar terpusat pada siswa; proses belajar mengajar menjadi lebih menarik, memberi kebebasan siswa dalam belajar sendiri sehingga akan termotivasi untuk beiajar; dan dapat mengembangkan bakat atau kemampuan individual.

3. Kegiatan Laboratorium
Proses pembelajaran selain ditentukan oleh guru dan siswa juga ditentukan oleh sarana prasarana dan media pembelajaran. Laboratorium merupakan salah satu sarana pendidikan yang peranannya tidak bisa dianggap kecil. Laboratorium pendidikan diutamakan sebagai alat bantu mengajar, walaupun tidak menutup kemungkinan digunakan dalam penelitian, baik oleh guru maupun siswa.
Melalui kegiatan praktikum (kegiatan laboratorium), siswa dapat mempelajari sains melalui pengamatan langsung terhadap gejala-gejaia maupun proses-proses sains, dapat melatih keterampilan berpikir ilmiah, dapat menanamkan dan mengembangkan sikap ilmiah, dapat menemukan dan memecahkan berbagai masalah baru melalui metode ilmiah dan lain sebagainya. Selain itu kegiatan laboratorium dapat membantu pemahaman siswa terhadap materi pelajaran.
Kegiatan laboratorium dapat dibagi menjadi dua yaitu kegiatan laboratorium yang bersifat verifikatif dan kegiatan laboratorium bersifat inkuiri.
Kegiatan laboratorium bersifat verifikatif merupakan kegiatan laboratorium dengan menggunakan petunjuk yang telah disediakan untuk membuktikan konsep atau fakta yang telah diketahui siswa sebelumnya. Kegiatan laboratorium bersifat inkuiri adalah kegiatan laboratorium yang memungkinkan siswa berusaha menemukan konsep atau fakta yang belum diketahui siswa sebelumnya.
Kegiatan laboratorium bersifat inkuiri lebih berbobot dari kegiatan laboratorium bersifat verifikasi yang dirasakan kurang mengoptimalkan keterampilan proses yang seharusnya dimililki siswa. Karena dalam kegiatan laboratorium berbasis inkuiri siswa dapat mengembangkan keterampilan-keterampilan kerja ilmiah selama kegiatan berlangsung.

4. Kompetensi Dasar Komunikasi ilmiah
Standar kompetensi dari kerja ilmiah (Depdiknas 2003b) adalah merencanakan penelitian ilmiah, melaksanakan penelitian ilmiah, mengkomunikasikan hasil penelitian ilmiah, dan bersikap ilmiah. Kompetensi dasar berkomunikasi ilmiah merupakan bagian yang penting dalam bekerja ilmiah, karena dengan kompetensi ini semua orang dapat melemparkan ide-idenya. Menurut Semiawan (1992:32-33), mengkomunikasikan hasil kerja ilmiah dapat dilakukan secara verbal maupun non verbal. Secara non verbal misalnya dengan membuat laporan penelitian hasil kerja ilmiahnya yang memuat gambar, model, tabel, diagram, atau grafik sehingga dapat dibaca orang lain.

H. METODOLOGI PENELITIAN
1. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif
2. Subyek dan Lokasi Penelitian
Subyek penelitian ini adalah siswa SMA Negeri 4 Pekalongan kelas XI IIA Penelitian dilaksanakan di kelas dan di Laboratorium kimia SMA Negeri 4 Pekalongan.

I. VARIABEL PENELITIAN
Variabel penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu :
1. Variabel bebas berupa waktu pelaksanaan kegiatan laboratorium.Kegiatan dilakukan pada tiga paruh waktu yaitu awal,tengah dan akhir jam sekolah.
2. Variabel terikat yang terdiri dari indikator-indikator dalam berkomunikasi ilmiah Indikator yang diteliti dalam penelitian ini adalah kemampuan membuat dan menafsirkan tabel, membuat dan menafsirkan grafik, menerapkan konsep dan menyimpulkan.

J. INSTRUMEN PENELITIAN
a. Instrumen tentang perangkat pembelajaran berupa lembar kerja siswa (LKS) materi Laju reaksi
b. Instrumen untuk evaluasi berupa tes tertulis berbentuk essai, lembar pengamatan, format penilaian LKS dan format penilaian laporan

K. TEHNIK PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
1. Pengumpulan Data
a. Tes Evaluasi berupa pre tes dan pos tes yang memuat indikator-indikator berkomunikasi ilmiah. Materi tes adalah materi yang akan dipraktikumkan. Tes ini dilakukan pada awal dan akhir penelitian.
b. Lembar Kerja Siswa
Lembar kerja siswa ini berisikan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan kegiatan laboratorium yang akan dilaksanakan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut bertujuan untuk menggali kemampuan berkomunikasi ilmiah siswa.
c. Laporan praktikum
Hal yang harus dilakukan oleh setiap siswa setelah melakukan kegiatan laboratorium adalah membuat laporan praktikum. Dari laporan praktikum dapat diketahui sejauh mana kompetensi berkomunikasi ilmiah dapat dikuasai siswa.
d. Lembar Pengamatan / Observasi
Selama proses berlangsung (sebelum, selama dan sesudah praktikum) di amati dengan lembar pengamatan tertentu. Pengamatan dilakukan dengan tujuan untuk mengungkap kemampuan siswa berkomunikasi ilmiah.


2. Teknik Pengolahan Data
a. Uji Normalitas
Semua data yang diperoleh dilakukan uji normalitas. Uji ini berfungsi mengetahui apakah data-data tersebut terdistrubusi normal atau tidak.
b. Uji Signifikansi
Uji ini dilakukan untuk menguji signifikansi data yang diperoleh dari penelitian. Uji yang dilakukan adalah dengan uji t dengan taraf signifikansi 0,5 % dimana jika thitung > tkritis maka data bersifat signifikan pada taraf tersebut (Suharsimi, 1990)





















Daftar Pustaka

Amien, Moh. 1987. Mengajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dengan Menggunakan Metode Discovery dan inkuiri. Jakarta : Depdikbud.
Arikunto, Suharsimi. 1990. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara
_____________. 2003. Kurikulum SMA 2004. Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian. Jakarta : Depdiknas
______________. 2006. Kurikulum KTSP SMA. Stadar Isi Mata Pelajaran SMA.Jakarta : Depdiknas
______________. 2006. Kurikulum KTSP SMA. Pedoman Khusus Pengembangan Silabus. Jakarta : Depdiknas
Roestiyah. 1998. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta.
Semiawan, Conny. 1992. Pendekatan Ketrampilan Proses. Jakarta: Grasindo.
Sund, R.B, dan Trowbridge, Leslie W. 1973. Teaching Science By Inquiry In The Secondary School, Second Edition, Columbus: Charles E.Merill Publishing Company.






PROFESIONALISME GURU 2


Peningkatan Profesionalisme Guru
Melalui Budaya Organisasi


Abstrak:Upaya peningkatan profesionalisme guru terus dilakukan melalui pening-katan kualifikasi akademik, perbaikan gaji,pendidikan dan latihan sampai pemberi-an tunjangan profesi.Hal yang belum banyak mendapatkan perhatian adalah pe-ningkatan budaya organisasi. Terdapat filosofi,bahwa kemampuan mengapresiasi dan menginterpretasikan budaya organisasi merupakan komponen manajemen pen-ting yang efektif.Organisasi memiliki sebuah struktur (aspek anatomis),pola kehi-dupan (aspek fisiologis) dan sistim budaya (aspek kultur) yang berlaku dan ditaati oleh anggotanya.Dalam dunia pendidikan , budaya organisasi dikenal sebagai bu-daya akademis.Ada empat budaya organisasi,yaitu:1) Budaya kekuasaan (Power Culture) yang memfokuskan pada penggunaan kekuasaan dalam cara memerintah , 2) Budaya Peran (Role Culture) yang dapat dilihat dari sejauh mana peran guru dalam merancang, merencanakan dan memberikan masukan terhadap pemben-tukan suatu nilai budaya kerja tanpa ada nya birokrasi dari pihak pimpinan., 3)Budaya Pendukung (Support Culture) yaitu adanya kelompok yang mendukung terhadap upaya integrasi nilai-nilai dalam organisasi,4)Budaya Prestasi (Achieve-ment Culture) yang menekankan terciptanya guru yang profesional, mandiri dan berprestasi dalam melaksanakan tugasnya. Ada lima profesionalisme di bidang keguruan,yaitu: 1) Profesionalisme material, merujuk pada penguasaan materi bahan ajar yang harus ditransformasikan kepada siswa, 2) Profesionalisme Meto- dologikal, merujuk pada penguasaan metode dan strategi serta seni mendidik, 3)Profesionalisme Sosial, merujuk pada kedudukan guru sebagai manusia biasa dan sebagai anggota masyarakat, 4)Profesionalisme Demokratis, mencerminkan miniatur demokrasi dalam proses belajar mengajarnya, 5)Profesionalisme Mana-jerial, guru harus dapat bertindak sebagai direktur,manajer atau fasilitator belajar.

Kata kunci: Profesionalisme,Guru,Budaya Organisasi.

Abstract: The effort to increase teacher’s professionalism is being done all the time through increasing academic qualification,salary improvement,training,until the giving of professional subsidy. Something that has not got any attention is the increasing of organization culture.There is a philosophy that the ability to appre- ciate and to interpretate organization culture is an important management compo-nent which is very effective.Organization has a structure(anatomy aspect),live pattern(physiology aspect) and cultural system(cultural aspect) that conductet and obeyed by the members.In educational world,organizational culture is known as academic culture.There are four organization culture,that is: 1)Power Culture which is focused on the use of power in how to order, 2)Role Culture which can be seen from how far is the teacher’s role in designing,planning and giving opinion to a value form of work culture without the existence of bureaucracy from the leader side, 3) Support Culture that is the existenceof groups which are supported to the effort of value integration in organization,4) Achievement Cul- ture which is focused on the creation of professional teacher, autonomous and achievement in doing the task.There are five professionalism in teacher ship field,that is: 1)Materi-al professionalism, refers to the teacher’s material competency which has to be transformed to the students,2) Methodological professionalism,refers to the compe-tency in method,strategy and art of educating,3) Social professionalism, refers to the teacher’s position as human being as the member of society,4) Democratic professionalism,reflects democracy miniature in the teaching learning process, 5) Managerial professionalism,a teacher has to act as a director,manager or learning facilitator.

Key words:Professionalism, Teacher, Organization Culture


Salah satu permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah rendahnya mutu pendidikan,khususnya pada jenjang pendidikan dasar dan mene- ngah.Berbagai upaya telah ditempuh,mulai dari pengembangan kurikulum, dan sistim evaluasi,perbaikan sarana pendidikan,pengembangan materi ajar, sampai pada peningkatan profesionalisme guru.
Peningkatan profesionalisme guru telah dilakukan dengan berbagai cara antara lain,peningkatan kualifikasi akademik,perbaikan gaji,pendidikan dan lati- han dan pemberian tunjangan profesi.Upaya tak kalah penting adalah peningkatan profesionalisme melalui peningkatan budaya organisasi.

Budaya
Edward Burnett Taylor secara luas mendefinisikan budaya sebagai :”…culture or civilization, taken in its wide ethnographic ense, is that complex whole wich includes knowledge,belief, art, morals, law, custom and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society” atau budaya juga dapat diartikan sebagai : “Seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya melalui proses belajar(Koentjaraningrat, 2001: 72 ).
Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari kita lebih memahami budaya dari sudut sosiologi dan ilmu budaya, padahal ternyata ilmu budaya bisa mempenga -ruhi terhadap perkembangan ilmu lainnya seperti ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). Sehingga ada beberapa istilah lain dari istilah budaya seperti budaya organisasi (organization culture) atau budaya kerja (work culture) ataupun biasa lebih dikenal lebih spesifik lagi dengan istilah budaya perusahaan (corpora- te culture). Sedangkan dalam dunia pendidikan dikenal dengan istilah kultur pem- belajaran sekolah (school learning culture) atau kultur akademis (Academic cul -ture)
Dalam dunia pendidikan mengistilahkan budaya organisasi dengan istilah kultur akademis yang pada intinya mengatur para pendidik agar mereka memaha-mi bagaimana seharusnya bersikap terhadap profesinya, beradaptasi terhadap rekan kerja dan lingkungan kerjanya serta berlaku reaktif terhadap kebijakan pimpinannya, sehingga terbentuklah sebuah sistem nilai, kebiasaan (habits), citra akademis, ethos kerja yang terinternalisasikan dalam kehidupannya sehingga mendorong adanya apresiasi dirinya terhadap peningkatan prestasi kerja baik terbentuk oleh lingkungan organisasi itu sendiri maupun dikuatkan secara organi -satoris oleh pimpinan akademis yang mengeluarkan kebijakan.
Fungsi pimpinan sebagai pembentuk kultur akademis diungkapkan oleh Peter, Dobin dan Johnson (1996) bahwa :
Para pimpinan sekolah khususnya dalam kapasitasnya menjalankan fungsinya sangat berperan penting dalam dua hal yaitu : a). Mengkonsep-tualisasikan visi dan perubahan dan b). Memiliki pengetahuan, keteram-pilan dan pemahaman untuk mentransformasikan visi menjadi etos dan kultur akademis kedalam aksi riil (Sudarwan Danim, 2003:74).
Jadi terbentuknya kultur akademis bisa dicapai melalui proses tranformasi dan perubahan tersebut sebagai metamorfosis institusi akademis menuju kultur akademis yang ideal. Budaya itu sendiri masuk dan terbentuk dalam pribadi seorang guru itu melalui adanya adaptasi dengan lingkungan, pembiasaan tata -nan yang sudah ada dalam etika pendidikan ataupun dengan membawa sistem nilai sebelumnya yang kemudian masuk dan diterima oleh institusi tersebut yang akhirnya terbentuklah sebuah budaya akademis dalam sebuah organisasi.
Pola pembiasaan dalam sebuah budaya sebagai sebuah nilai yang diakuinya bisa membentuk sebuah pola perilaku,dalam hal ini Ferdinand Tonnies membagi kebiasaan kedalam beberapa pengertian antara lain :
a) Kebiasaan sebagai suatu kenyataan objektif sehari-hari yang merupakan sebuah kelajiman baik dalam sikap maupun dalam penampilan sehari-hari. Seorang pendidik sebagai profesional, biasa berpenampilan rapi, berdasi dan berkeme- ja dan bersikap formal, sangat lain dengan melihat penampilan dosen institut seni yang melawan patokan formal yang berlaku didunia pendidikan dengan berpakaian kaos dan berambut panjang.
b) Kebiasaan sebagai Kaidah yang diciptakan dirinya sendiri yaitu kebiasaan yang lahir dari diri pendidik itu sendiri yang kemudian menjadi ciri khas yang membedakan dengan yang lainnya.
c) Kebiasaan sebagai perwujudan kemauan untuk berbuat sesuatu yaitu kebiasaan yang lahir dari motivasi dan inisatif yang mencerminkan adanya prestasi pribadi. ( Soerjono Soekanto,2003:174)

Budaya dan Kepribadian
Budaya secara individu itu berkorelasi dengan kepribadian, sehingga budaya berhubungan dengan pola perilaku seseorang ketika berhadapan dengan sebuah masalah hidup dan sikap terhadap pekerjaanya. Dilihat dari unsur perbe-daan, budaya juga menyangkut ciri khas yang membedakan antara individu yang satu dengan individu yang lain ataupun yang membedakaan antara profesi yang satu dengan profesi yang lain. Seperti perbedaan budaya seorang dokter dengan seorang guru, seorang akuntan dengan seorang spesialis, seorang professional dengan seorang amatiran.
Ciri khas ini bisa diambil dari hasil internalisasi individu dalam organisasi ataupun juga sebagai hasil adopsi dari organisasi yang mempengaruhi pencitraan sehingga dianggap sebagai kultur sendiri yang ternyata pengertiannya masih relatif dan bersifat abstrak. Kita lihat pengertian budaya yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Soerjono Soekanto mendefinisikan budaya sebagai : “Sebuah system nilai yang dianut seseorang pendukung budaya tersebut yang mencakup konsepsi abstrak tentang baik dan buruk. atau secara institusi nilai yang dianut oleh suatu organisasi yang diadopsi dari organisasi lain baik melalui reinventing maupun re-organizing”( Soerjono Soekanto,2003:174)
Budaya juga tercipta karena adanya adopsi dari organisasi lainnya baik nilai, jargon, visi dan misi maupun pola hidup dan citra organisasi yang dimani - festasikan oleh anggotanya. Seorang pendidik sebagai pelaku organisasi jelas berperan sangat penting dalam pencitraan sekolah jauh lebih cepat karena secara langsung berhadapan dengan siswa yang bertindak sebagai promotor pencitraan di masyarakat, sementara nilai pencitraan sebuah organisasi diambil melalui adanya pembaharuan maupun pola reduksi langsung dari organisasi sejenis yang berpe -ngaruh dalam dunia pendidikan.
Sebuah nilai budaya yang merupakan sebuah sistem bisa menjadi sebuah asumsi dasar sebuah organisasi untuk bergerak didalam meningkatkan sebuah kinerjanya, yang salah satunya terbentuknya budaya yang kuat yang bisa mempe -ngaruhi. McKenna dan Beech berpendapat bahwa : „Budaya yang kuat mendasari aspek kunci pelaksaan fungsi organisasi dalam hal efisiensi, inovasi, kualitas serta mendukung reaksi yang tepat untuk membiasakan mereka terhadap kejadian-keja- dian, karena etos yang berlaku mengakomodasikan ketahanan“( McKenna, et.al, Terj. Toto Budi Santoso , 2002: 19)
Budaya yang kuat akan mendukung terciptanya sebuah prestasi yang posi -tif bagi anggotanya dalam hal ini budaya yang diinternalisasikan pihak pimpinan akan berpengaruh terhadap sistem prilaku para pendidik dan staf dibawahnya baik didalam organisasi maupun diluar organisasi.
Secara lengkap budaya bisa merupakan nilai, konsep, kebiasaan, perasaan yang diambil dari asumsi dasar sebuah organisasi yang kemudian diinternalisasi -kan oleh anggotanya. Bisa berupa perilaku langsung apabila menghadapi perma -salahan maupun berupa karakter khas yang merupakan sebuah citra akademik yang bisa mendukung rasa bangga terhadap profesi dirinya sebagai guru, perasaan memiliki dan ikut menerapkan seluruh kebijakan pimpinan dalam pola komunika-si dengan lingkungan internal dan eksternal belajar. Lingkungan pembelajaran itu sendiri mendukung terhadap pencitraan diluar organisasi, sehingga dapat terlihat sebuah budaya akan mempengaruhi terhadap maju mundurnya sebuah organisasi. Seorang professional yang berkarakter dan kuat kulturnya akan meningkatkan kinerjanya dalam organisasi dan secara sekaligus meningkatkan citra dirinya.

Budaya Organisasi
Apabila dilihat dari bentuknya, organisasi merupakan sebuah masukan (input) dan luaran (output) serta bisa juga dilihat sebagai living organism yang memiliki tubuh dan kepribadian, sehingga terkadang sebuah organisasi bisa dalam kondisi sakit (when an organization gets sick).Organisasi sebagai suatu output (luaran) memiliki sebuah struktur (aspek anatomis), pola kehidupan (aspek fisio -logis) dan sistem budaya (aspek kultur) yang berlaku dan ditaati oleh anggotanya.
Dari pengertian organisasi sebagai output (luaran) inilah melahirkan istilah budaya organisasi atau budaya kerja ataupun lebih dikenal didunia pendidikan sebagai budaya akademis. Budaya lebih berkaitan dengan aspek-aspek informal dari organisasi daripada elemen-elemen resminya yang selalu dilambangkan dengan gambaran struktur.Budaya fokus pada nilai-nilai,keyakinan-keyakinan dan norma-norma individu serta bagaimana persepsi-persepsi ini bergabung atau bersatu dalam makna-makna organisasi.O’Neill(1994,hal.103)dari kutipan Tony Bush dan Marianne Coleman menjelaskan signifikansi kontemporer tentang konsep ini:
“Pentingnya memahami kultur organisasi terletak pada gagasan bahwa area-area aktifitas organisasi yang disepakati secara resmi hanya menghasilkan gambaran parsial tentang bagaimana dan kenapa sebuah organisasi berfungsi sebagaimana mestinya.Dengan demaikian manajer pendidikan memerlukan sebuah kerangka kerja analitis untuk mengidentifikasi elemen-elemen yang tidak terdokumentasi ,tidak resmi,dan tidak tersentuh,yang mempengaruhi cara organi -sasi tersebut berfungsi”
Menurut Torrington dan Weightman(1989) kultur organisasi adalah suatu karakteristik semangat dan keyakinan organisasi yang ditunjukkan,misalnya dalam norma-norma dan nilai-nilai yang secara umum berbicara tentang bagai -mana seharusnya orang bersikap terhadap orang lain,suatu sifat pola hubungan kerja yang harus dikembangkan dan dirubah.Norma-norma ini sangat dalam, asumsi-asumsi kaku yang tidak selalu diekspresikan,dan selalu diketahui tanpa bisa dipahami(Tony Bush dan Marianne Coleman, 2008:134)
Organisasi memiliki kultur melalui proses belajar, pewarisan, hasil adap- tasi dan pembuktian terhadap nilai yang dianut yaitu nilai yang terbukti manfaat -nya.Selain itu juga bisa melalui sikap kepemimpinan yaitu pendirian, sikap dan prilaku nyata bukan sekedar ucapan, pesona ataupun kharisma.
Dari pengertian diatas bisa disimpulkan bahwa budaya organisasi diartikan sebagai kristalisasi dari nilai-nilai serta merupakan kepercayaan maupun harapan bersama para anggota organisasi yang diajarkan dari generasi yang satu kegene -rasi yang lain dimana didalamnya ada perumusan norma yang disepakati para anggota organisasi, mempunyai asumsi, persepsi atau pandangan yang sama dalam menghadapi berbagai permasalahan dalam organisasi.

Hal-hal yang Mempengaruhi Budaya Organisasi
Pembentukan budaya organisasi terjadi tatkala anggota organisasi belajar menghadapi masalah, baik masalah-masalah yang menyangkut perubahan ekster-nal maupun masalah internal yang menyangkut persatuan dan keutuhan organi -sasi.
Pembentukan budaya akademis dalam organisasi diawali oleh para pendiri (founder) institusi melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
1. Seseorang mempunyai gagasan untuk mendirikan organisasi.
2. Ia menggali dan mengarahkan sumber-sumber, baik orang yang sepaham dan setujuan dengan dia (SDM), biaya dan teknologi.
3. Mereka meletakan dasar organisasi berupa susunan organisasi dan tata kerja.
Dalam organisasi juga perlu adanya nilai-nilai yang sama yang dianut seluruh warga organisasi.Nilai yang berlaku sama ini dianggap sebagai faktor-faktor yang membentuk budaya organisasi yangt dapat dibagi menjadi:
a). Share thing, misalnya pakaian seragam seperti pakaian PSH untuk guru, batik PGRI yang menjadi ciri khas organisasi tersebut.
b). Share saying, misalnya ungkapan-ungkapan bersayap, slogan, seperti didunia pendidikan terdapat istilah Tut wuri handayani.
c). Share doing, misalnya pertemuan, kerja bakti, kegiatan sosial sebagai bentuk aktifitas rutin yang menjadi ciri khas suatu organisasi.
d). Share feeling, turut bela sungkawa, aniversary, ucapan selamat, acara wisuda dan lain sebagainya.
Budaya dan Profesionalisme
Dalam perkembangan berikutnya dapat kita lihat ada keterkaitan antara budaya dengan disain organisasi atau hubungan budaya dengan keberhasilan suatu sekolah sesuai dengan design culture yang akan diterapkan. Untuk memahami disain organisasi tersebut, Harrison ( McKenna, etal, 2002: 65) membagi empat tipe budaya organisasi :
1.Budaya Kekuasaan (Power culture).
Budaya ini lebih memfokuskan sejumlah kecil pimpinan menggunakan kekuasa- an yang lebih banyak dalam cara memerintah. Budaya kekuasaan juga dibutuh -kan dengan syarat mengikuti esepsi dan keinginan anggota suatu organisasi.
Seorang dosen, seorang guru dan seorang karyawan butuh adanya peraturan dan pemimpin yang tegas dan benar dalam menetapkan seluruh perintah dan kebija -kannya. Karena hal ini menyangkut kepercayaan dan sikap mental tegas untuk memajukan institusi organisasi.
2.Budaya Peran (Role culture)
Budaya ini ada kaitannya dengan prosedur birokratis, seperti peraturan organi -sasi dan peran/jabatan/posisi spesifik yang jelas karena diyakini bahwa hal ini akan menstabilkan sistem. Keyakinan dan asumsi dasar tentang kejelasan status/ posisi/peranan yang jelas inilah akan mendorong terbentuknya budaya positif, yang jelas akan membantu menstabilkan suatu organisasi. Bagi seorang guru tetap, jauh lebih cepat menerima seluruh kebijakan akademis daripada guru tidak tetap yang hanya sewaktu-waktu hadir sesuai dengan jadwal mengajar. Hampir semua orang menginginkan suatu peranan dan status yang jelas dalam organisasi.
Bentuk budaya ini kalau diterapkan dalam budaya akademis dapat dilihat dari sejauhmana peran guru dalam merancang, merencanakan dan memberikan masukan (input) terhadap pembentukan suatu nilai budaya kerja tanpa adanya birokrasi dari pihak pimpinan. Jelas, masukan dari bawah lebih independen dan dapat diterima karena sudah menyangkut masalah personal dan bisa didukung oleh berbagai pihak melalui adanya perjanjian psikologis antara pimpinan dengan guru yang dibawahnya. Budaya peran yang diberdayakan secara jelas juga akan membentuk terciptanya profesionalisme kerja seorang guru dan rasa memiliki yang kuat terhadap peran sosialnya.
3.Budaya Pendukung (Support culture)
Budaya dimana didalamnya ada kelompok atau komunitas yang mendukung seseorang yang mengusahakan terjadinya integrasi dan seperangkat nilai bersa -ma dalam organisasi tersebut. Selain budaya peran dalam menginternalisasikan suatu budaya perlu adanya budaya pendukung yang disesuaikan dengan keya -kinan anggota dibawah. Budaya pendukung telah ditentukan oleh pihak pimpin- an ketika organisasi/institusi tersebut didirikan oleh pendirinya yang dituangkan dalam visi dan misi organisasi tersebut. Jelas didalamnya ada keselarasan antara struktur, strategi dan budaya itu sendiri. Dan suatu waktu bisa terjadi adanya perubahan dengan menanamkan budaya untuk belajar terus menerus (longlife education)
4.Budaya Prestasi (Achievement culture)
Budaya yang didasarkan pada dorongan individu dalam organisasi dalam suasa -na yang mendorong eksepsi diri dan usaha keras untuk adanya independensi dan tekananya ada pada keberhasilan dan prestasi kerja. Budaya ini sudah berlaku dikalangan akademisi tentang independensi dalam pengajaran, penelitian dan pengabdian serta dengan pemberlakuan otonomi kampus yang lebih menekan -kan terciptanya tenaga akademisi yang profesional, mandiri dan berprestasi dalam melaksanakan tugasnya.
Dari empat tipe budaya diatas,yang cukup mengena dalam kaitannya dengan pengaruh budaya terhadap kinerja seorang guru dapat dilihat dari budaya prestasi atau lebih tepat sebagai bentuk profesionalisme seorang guru.
Ada lima diskursus professional ( Danim, 2003:.126-127) yang berbeda diseputar profesionalisme keguruan yaitu antara lain :
1) Profesionalisme Material (Material Professionalism) merujuk pada kemampuan professional guru atau tenaga pengembang lain dilihat dari prespektif penguasaan material bahan ajar yang harus ditransformasikan dikelas ataupun diluar kelas.
2) Profesionalime Metodologikal (Methodological Professionalism) merujuk pada penguasaan metode dan strategi serta seni mendidik dan mengajar sehingga memudahkan proses belajar mengajar.
3) Profesionalisme Sosial (Social Professionalism) merujuk pada kedudukan guru dan tenaga pengembang lain sebagai manusia biasa dan sebagai anggota masyarakat dengan tidak kehilangan identitas budaya sebagai pendidik oleh karena bisa diajdikan contoh dan referensi prilaku dalam kehidupan masyara -kat.
4) Profesionalisme Demokratis (Democratic Professionalism) merujuk pada tugas pokok dan fungsi yang ditampilkan oleh guru dan tenaga pengembang lainnya harus beranjak dari, oleh dan untuk peserta didiknya sehingga mencerminkan miniatur demokrasi masyarakat.
5) Profesionalisme Manajerial (Managerial Professionalism) merujuk pada kedu -dukan guru bukanlah orang yang secara serta merta mentransmisikan bahan ajar saja tapi juga bertindak sebagai direktur, manajer atau fasilitator belajar.

Karakteristik Budaya Organisasi.
Untuk menentukan indikator secara pasti mengenai budaya organisasi jauh lebih sulit.Ada yang membagi budaya organisasi kedalam beberapa indikator, antara lain:
a). Aspek kualitatif (basic)
b). Aspek kuantitatif (shared) dan aspek terbentuknya
c). Aspek komponen (assumption dan beliefs),
d). Aspek adaptasi eksternal (eksternal adaptation)
e). Aspek Integrasi internal (internal integration) sebagai proses penyatuan budaya melalui asimilasi dari budaya organisasi yang masuk dan berpengaruh terhadap karakter anggota.
Ada pula yang membagi menjadi sepuluh indikator buadaya organisasi yaitu:
1. Jaminan diri (Self assurance)
2. Ketegasan dalam bersikap (Decisiveness)
3. Kemampuan dalam pengawasan (Supervisory ability)
4. Kecerdasan emosi (Intelegence)
5. Inisatif (Initiative)
6. Kebutuhan akan pencapaian prestasi (Need for achievement)
7. Kebutuhan akan aktualisasi diri (Need for self actualization)
8. Kebutuhan akan jabatan/posisi (Need for power)
9. Kebutuhan akan penghargaan (Need for reward)
10. Kebutuhan akan rasa aman (Need for security).

Penutup
Dari uraian diatas bahwa peningkatan kualitas kinerja seorang pendidik bisa dilakukan dengan memperhatikan kepuasan kerja secara intensif baik kepuas- an intrinsik maupun kepuasan ekstrinsik dan memperbaiki budaya organisasi yang hanya berorientasi tugas semata dengan menerapkan budaya kerja yang berorien -tasi kinerja, persaingan, yang disinergiskan dengan upaya re-inveting organisasi dan pengembangan jenjang karier secara berkala atau memperbaiki budaya orga -nisasi yang berpola paternalistik dengan budaya organisasi berpola profesional -isme.Sehingga para pendidik memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan secara langsung kepada rekan kerja ataupun kepada pihak pimpinan mengenai hal-hal yang menjadi hambatan psikologis dan komunikasi yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan baik instrinsik maupun ekstrinsik dan pihak pim -pinan senantiasa memperhatikan dan memegang teguh prinsip keadilan dan huma- nitas dalam pengembangan diri dimasa yang akan datang.
Agar membentuk kesadaran untuk tetap meningkatkan semangat dan budaya kerja yang inisiatif, kreatif dan penuh inovasi,pimpinan dapat mengem- bangkan budaya terbuka dan dorongan terhadap seluruh aktifitas akademis yang didukung oleh adanya penghargaan, pengakuan dan bersifat reaktif dan pro-aktif terhadap permasalahan akademis maupun non-akademis yang terjadi dikalangan pendidik yang sebenarnya bisa berakibat menurunnya citra dan semangat keke- luargaan antara pendidik dengan pihak pimpinan.
Peningkatan kepuasan kerja berupa materi maupun non-materi untuk meningkatkan kesejahteraan guru, kemudian tingkatkan budaya akademis yang berbasis pada peningkatan kompetensi, pengembangan jenjang pendidikan guru yang diseimbangkan dengan ketegasan dan kontrol sehingga tercipta budaya akademis yang kondusif. Serta tingkatkan profesionalisme kerja dalam pemberian jenjang jabatan tanpa menghilangkan budaya kekeluargaan yang kuat dan didasari adanya kontrol dan penghargaan serta pengakuan yang proporsional.


Buku Rujukan
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta : Rineka Cipta, 2001)
Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu Pengantar, (Jakarta : Grafindo, 2003)
Sudarwan Danim, Menjadi Komunitas Pembelajar, (Jakarta : Bumi Aksara, 2003)
Eugene McKenna dan Nic Beech, The Essence of : Manajemen Sumber Daya Manusia,Terj. Toto Budi Santoso, (Yogjakarta : Penerbit Andi, 2002)
Tony Bush & Marianne Coleman,Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan,(Yogyakarta:IRCiSoD,2008)

PROFESIONALISME GURU


Peningkatan Profesionalisme Guru Melalui Budaya Organisasi


Abstrak:Upaya peningkatan profesionalisme guru terus dilakukan melalui peningkatan kualifikasi akademik,perbaikan gaji,pendidikan dan latihan sampai pemberian tunjangan profesi.Hal yang belum banyak mendapatkan perhatian adalah peningkatan budaya organisasi.Terdapat filosofi,bahwa kemampuan mengapresiasi dan menginterpretasikan budaya organisasi merupakan komponen manajemen penting yang efektif.Organisasi memiliki sebuah struktur(aspek anatomis),pola kehidupan(aspek fisiologis) dan sistim budaya(aspek kultur) yang berlaku dan ditaati oleh anggotanya.Dalam dunia pendidikan,budaya organisasi dikenal sebagai budaya akademis.Ada empat budaya organisasi,yaitu:1)Budaya kekuasaan(Power Culture)yang memfokuskan pada penggunaan kekuasaan dalam cara memerintah,2)Budaya Peran(Role Culture)yang dapat dilihat dari sejauhmana peran guru dalam merancang,merencanakan dan memberikan masukan terhadap pembentukan suatu nilai budaya kerja tanpa adanya birokrasi dari pihak pimpinan.,3)Budaya Pendukung (Support Culture)yaitu adanya kelompok yang mendukung terhadap upaya integrasi nilai-nilai dalam organisasi,4)Budaya Prestasi(Achievement Culture) yang menekankan terciptanya guru yang profesional,mandiri dan berprestasi dalam melaksanakan tugasnya.Ada lima profesionalisma di bidang keguruan,yaitu:1)Profesionalisme material,merujuk pada penguasaan materi bahan ajar yang harus ditransformasikan kepada siswa,2)Profesionalisme Metodologikal,merujuk pada penguasaan metode dan strategi serta seni mendidik,3)Profesionalisme Sosial,merujuk pada kedudukan guru sebagai manusia biasa dan sebagai anggota masyarakat,4)Profesionalisme Demokratis,mencerminkan miniatur demokrasi dalam proses belajar mengajarnya,5)Profesionalisme Manajerial,guru harus dapat bertindak sebagai direktur,manajer atau fasilitator belajar.

Kata kunci: Profesionalisme,Guru,Budaya Organisasi.

Abstract:

Key words:

Sebagian para ahli seperti Stephen P. Robbins, Gary Dessler (1992) dalam bukunya yang berjudul “Organizational Theory” (1990), memasukan budaya organisasi kedalam teori organisasi. Sementara Budaya perusahaan merupakan aplikasi dari budaya organisasi dan apabila diterapkan dilingkungan manajemen akan melahirkan budaya manajemen. Budaya organisasi de-ngan budaya perusahan sering disalingtukarkan sehingga terkadang dianggap sama, padahal ber-beda dalam penerapannya.
Kita tinjau Pengertian budaya itu sendiri menurut : “The International Encyclopedia of the Social Science” (1972) dpat dilihat menurut dua pendekatan yaitu pendekatan proses (process-pattern theory, culture pattern as basic) didukung oleh Franz Boas (1858-1942) dan Alfred Louis Kroeber (1876-1960). Bisa juga melalui pendekatan structural-fungsional (structural-functional theory, social structure as abasic) yang dikembangkan oleh Bonislaw Mallllinowski (1884-1942) dan Radclife-Brown yang kemudians dari dua pendekatan itu Edward Burnett Tylor (1832-1917 secara luas mendefinisikan budaya sebagai :”…culture or civilization, taken in its wide ethnographic ense, is that complex whole wich includes knowledge,belief, art, morals, law, custom and any other capabilities and habits acquired by man as a memmmber of society” atau Budaya juga dapat diartikan sebagai : “Seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya melalui proses belajar(Koentjaraningrat, 2001: 72 ) sesuai dengan kekhasan etnik, profesi dan kedaerahan”(Danim, 2003:148).
Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari kita lebih memahami budaya dari sudut sosiologi dan ilmu budaya, padahal ternyata ilmu budaya bisa mempengaruhi terhadap perkembangan ilmu lainnya seperti ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). Sehingga ada beberapa istilah lain dari istilah budaya seperti budaya organisasi (organization culture) atau budaya kerja (work culture) ataupun biasa lebih dikenal lebih spesifik lagi dengan istilah budaya perusahaan (corporate culture). Sedangkan dalam dunia pendidikan dikenal dengan istilah kultur pembelajaran sekolah (school learning culture) atau Kultur akademis (Academic culture)
Dalam dunia pendidikan mengistilahkan budaya organisasi dengan istilah Kultur akademis yang pada intinya mengatur para pendidik agar mereka memahami bagaimana seharusnya bersikap terhadap profesinya, beradaptasi terhadap rekan kerja dan lingkungan kerjanya serta berlaku reaktif terhadap kebijakan pimpinannya, sehingga terbentuklah sebuah sistem nilai, kebiasaan (habits), citra akademis, ethos kerja yang terinternalisasikan dalam kehidupannya sehingga mendorong adanya apresiasi dirinya terhadap peningkatan prestasi kerja baik terbentuk oleh lingkungan organisasi itu sendiri maupun dikuatkan secara organisatoris oleh pimpinan akademis yang mengeluarkan sebuah kebijakan yang diterima ketika seseorang masuk organisasi tersebut.
Fungsi pimpinan sebagai pembentuk Kultur akademis diungkapkan oleh Peter, Dobin dan Johnson (1996) bahwa :
Para pimpinan sekolah khususnya dalam kapasitasnya menjalankan fungsinya sangat berperan penting dalam dua hal yaitu : a). Mengkonsepsitualisasikan visi dan perubahan dan b). Memiliki pengetahuan, keterampilan dan pemahaman untuk mengtransformasikan visi menjadi etos dan kultur akademis kedalam aksi riil (Danim, Ibid., P.74).
Jadi terbentuknya Kultur akademis bisa dicapai melalui proses tranformasi dan perubahan tersebut sebagai metamorfosis institusi akademis menuju kultur akademis yang ideal. Budaya itu sendiri masuk dan terbentuk dalam pribadi seorang dosen itu melalui adanya adaptasi dengan lingkungan, pembiasaan tatanan yang sudah ada dalam etika pendidikan ataupun dengan membawa sistem nilai sebelumnya yang kemudian masuk dan diterima oleh institusi tersebut yang akhirnya terbentuklah sebuah budaya akademis dalam sebuah organisasi.
Pola pembiasaan dalam sebuah budaya sebagai sebuah nilai yang diakuinya bisa membentuk sebuah pola prilaku dalam hal ini Ferdinand Tonnies membagi kebiasaan kedalam beberapa pengertian antara lain :
a) Kebiasaan sebagai suatu kenyataan objektif sehari-hari yang merupakan sebuah kelajiman baik dalam sikap maupun dalam penampilan sehari-hari. Seorang pendidik sebagai profesionalis biasa berpenampilan rapi, berdasi dan berkemeja dan bersikap formal, sangat lain dengan melihat penampilan dosen institut seni yang melawan patokan formal yang berlaku didunia pendidikan dengan berpakaian kaos dan berambut panjang.
b) Kebiasaan sebagai Kaidah yang diciptakan dirinya sendiri yaitu kebiasaan yang lahir dari diri pendidik itu sendiri yang kemudian menjadi ciri khas yang membedakan dengan yang lainnya.
c) Kebiasaan sebagai perwujudan kemauan untuk berbuat sesuatu yaitu kebiasaan yang lahir dari motivasi dan inisatif yang mencerminkan adanya prestasi pribadi. ( Soekanto, loc.cit, P. 174)
Pengertian budaya yang penulis teliti lebih banyak berhubungan dengan kepribadian dan sikap dosen dalam menyikapi pekerjaannya (profesionality), rekan kerjanya, kepemimpinan dan peningkatan karakter internal (maturity character) terhadap lembaganya baik dilihat dari sudut psikologis maupun sudut biologis seseorang. Dimana budaya akademis secara aplikatif dapat dilihat ketika para anggota civitas akademika sudah mempraktikan seluruh nilai dan sistem yang berlaku di perguruan tinggi dalam pribadinya secara konsisten.
Budaya dan kepribadian
Oleh karena budaya secara individu itu berkorelasi dengan kepribadian, sehingga budaya berhubungan dengan pola prilaku seseorang ketika berhadapan dengan sebuah masalah hidup dan sikap terhadap pekerjaanya. Didalamnya ada sikap reaktif seorang pendidik terhadap perubahan kebijakan pemerintah dalam otonomi kampus sebagaimana yang terjadi, dimana dengan adanya komersialisasi kampus bisakah berpengaruh terhadap perubahan kultur akademis penididik dalam sehari-harinya.
Dilihat dari unsur perbedaan budaya juga menyangkut ciri khas yang membedakan antara individu yang satu dengan individu yang lain ataupun yang membedakaan antara profesi yang satu dengan profesi yang lain. Seperti perbedaan budaya seorang dokter dengan seorang dosen, seorang akuntan dengan seorang spesialis, seorang professional dengan seorang amatiran.
Ciri khas ini bisa diambil dari hasil internalisasi individu dalam organisasi ataupun juga sebagai hasil adopsi dari organisasi yang mempengaruhi pencitraan sehingga dianggap sebagai kultur sendiri yang ternyata pengertiannya masih relatif dan bersifat abstrak. Kita lihat pengertian budaya yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Soerjono Soekanto mendefinisikan budaya sebagai : “Sebuah system nilai yang dianut seseorang pendukung budaya tersebut yang mencakup konsepsi abstrak tentang baik dan buruk. atau secara institusi nilai yang dianut oleh suatu organisasi yang diadopsi dari organisasi lain baik melalui reinventing maupun re-organizing”(Ibid, Soerjono Soekanto, P. 174)
Budaya juga tercipta karena adanya adopsi dari organisasi lainnya baik nilai, jargon, visi dan misi maupun pola hidup dan citra organisasi yang dimanefestasikan oleh anggotanya. Seorang pendidik sebagai pelaku organisasi jelas berperan sangat penting dalam pencitraan kampus jauh lebih cepat karena secara langsung berhadapan dengan mahasiswa yang bertindak sebagai promotor pencitraan di masyarakat sementara nilai pencitraan sebuah organisasi diambil melalui adanya pembaharuan maupun pola reduksi langsung dari organisasi sejenis yang berpengaruh dalam dunia pendidikan.
Sebuah nilai budaya yang merupakan sebuah sistem bisa menjadi sebuah asumsi dasar sebuah organisasi untuk bergerak didalam meningkatkan sebuah kinerjanya yang salah satunya terbentuknya budaya yang kuat yang bisa mempengaruhi. McKenna dan Beech berpendapat bahwa : „Budaya yang kuat mendasari aspek kunci pelaksaan fungsi organisasi dalam hal efisiensi, inovasi, kualitas serta mendukung reaksi yang tepat untuk membiasakan mereka terhadap kejadian-kejadian, karena etos yang berlaku mengakomodasikan ketahanan“( McKenna, etal, Terj. Toto Budi Santoso , 2002: 19)
Sedang menurut Talizuduhu Ndraha mengungkapkan bahwa “Budaya kuat juga bisa dimaknakan sebagai budaya yang dipegang secara intensif, secara luas dianut dan semakin jelas disosialisasikan dan diwariskan dan berpengaruh terhadap lingkungan dan prilaku manusia”( Ndraha, 2003:123).
Budaya yang kuat akan mendukung terciptanya sebuah prestasi yang positif bagi anggotanya dalam hal ini budaya yang diinternalisasikan pihak pimpinan akan berpengaruh terhadap sistem prilaku para pendidik dan staf dibawahnya baik didalam organisasi maupun diluar organisasi.
Sekali lagi kalau Budaya hanya sebuah asumsi penting yang terkadang jarang diungkapkan secara resmi tetapi sudah teradopsi dari masukan internal anggota organisasi lainnya.
Vijay Sathe mendefinisikan budaya sebagai “The sets of important assumption (opten unstated) that member of a community share in common” ( Sathe, 1985: 18) Begitu juga budaya sebagai sebuah asumsi dasar dalam pembentukan karakter individu baik dalam beradaptasi keluar maupun berintegrasi kedalam organisasi lebih luas diungkapkan oleh Edgar H. Schein bahwa budaya bisa didefinisikan sebagai :
“A pattern of share basic assumption that the group learner as it solved its problems of external adaptation anda internal integration, that has worked well enough to be considered valid and therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think and feel in relation to these problems”. ( Schein, 1992:16)
Secara lengkap Budaya bisa merupakan nilai, konsep, kebiasaan, perasaan yang diambil dari asumsi dasar sebuah organiasasi yang kemudian diinternalisasikan oleh anggotanya. Bisa berupa prilaku langsung apabila menghadapi permasalahan maupun berupa karakter khas yang merupakan sebuah citra akademik yang bisa mendukung rasa bangga terhadap profesi dirinya sebagai dosen, perasaan memiliki dan ikut menerapkan seluruh kebijakan pimpinan dalam pola komunikasi dengan lingkungannya internal dan eksternal belajar. Lingkungan pembelajaran itu sendiri mendukung terhadap pencitraan diluar organisasi, sehingga dapat terlihat sebuah budaya akan mempengaruhi terhadap maju mundurnya sebuah organisasi. Seorang professional yang berkarakter dan kuat kulturnya akan meningkatkan kinerjanya dalam organisasi dan secara sekaligus meningkatkan citra dirinya.
Organisasi dan budaya
Membahas budaya, jelas tidak bisa lepas dari pengertian organisasi itu sendiri dan dapat kita lihat beberapa pendapat tentang organisasi yang salah satunya diungkapkan Stephen P. Robbins yang mendefinisikan organisasi sebagai “…A consciously coordinated social entity, with a relatively identifiable boundary that function or relatively continous basis to achieve a common goal or set of goal”. ( Robbins, 1990: 4) Sedangkan Waren B. Brown dan Dennis J. Moberg mendefinisikan organisasi sebagai “…. A relatively permanent social entities characterized by goal oriented behavior, specialization and structure”(Brown,etal,1980:6).
Begitu juga pendapat dari Chester I. Bernard dari kutipan Etzioni dimana organisasi diartikan sebagai “Cooperation of two or more persons, a system of conciously coordinated personell activities or forces”( Etzioni, 1961:14.)
Sehingga organisasi diatas pada dasarnya apabila dilihat dari bentuknya, organisasi merupakan sebuah masukan (input) dan luaran (output) serta bisa juga dilihat sebagai living organism yang memiliki tubuh dan kepribadian, sehingga terkadang sebuah organisasi bisa dalam kondisi sakit (when an organization gets sick). Sehingga organisasi dianggap Sebagai suatu output (luaran) memiliki sebuah struktur (aspek anatomic), pola kehidupan (aspek fisiologis) dan system budaya (aspek kultur) yang berlaku dan ditaati oleh anggotanya.
Dari pengertian Organisasi sebagai output (luaran) inilah melahirkan istilah budaya organisasi atau budaya kerja ataupun lebih dikenal didunia pendidikan sebagai budaya akademis. Untuk lebih menyesuaikan dengan spesifikasi penelitian penulis mengistilahkan budaya organisasi dengan istilah budaya akademis.
Menurut Umar Nimran mendefinisikan budaya organisasi sebagai “Suatu sistem makna yang dimiliki bersama oleh suatu organisasi yang membedakannya dengan organisasi lain”(Umar Nimran, 1996: 11)
Sedangkan Griffin dan Ebbert (Ibid, 1996:11) dari kutipan Umar Nimran Budaya organisasi atau bisa diartikan sebagai “Pengalaman, sejarah, keyakinan dan norma-norma bersama yang menjadi ciri perusahaan/organisasi” Sementara Taliziduhu Ndraha Mengartikan Budaya organisasi sebagai “Potret atau rekaman hasil proses budaya yang berlangsung dalam suatu organisasi atau perusahaan pada saat ini”( op.cit , Ndraha, P. 102) Lebih luas lagi definisi yang diungkapkan oleh Piti Sithi-Amnuai (1989) dalam bukunya “How to built a corporate culture” mengartikan budaya organisasi sebagai :
A set of basic assumption and beliefs that are shared by members of an organization, being developed as they learn to cope with problems of external adaptation and internal integration. (Pithi Amnuai dari kutipan Ndraha, p.102)
(Seperangkat asumsi dan keyakinan dasar yang dterima anggota dari sebuah organisasi yang dikembangkan melalui proses belajar dari masalah penyesuaian dari luar dan integarasi dari dalam)
Hal yang sama diungkapkan oleh Edgar H. Schein (1992) dalam bukunya “Organizational Culture and Leadershif” mangartikan budaya organisasi lebih luas sebagai :
“ …A patern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think and feel in relation to these problems.( loc.cit, Schein, P.16)
(“… Suatu pola sumsi dasar yang ditemukan, digali dan dikembangkan oleh sekelompok orang sebagai pengalaman memecahkan permasalahan, penyesuaian terhadap faktor ekstern maupun integrasi intern yang berjalan dengan penuh makna, sehingga perlu untuk diajarkan kepada para anggota baru agar mereka mempunyai persepsi, pemikiran maupun perasaan yang tepat dalam mengahdapi problema organisasi tersebut).
Sedangkan menurut Moorhead dan Griffin (1992) budaya organisasi diartikan sebagai :
Seperangkat nilai yang diterima selalu benar, yang membantu seseorang dalam organisasi untuk memahami tindakan-tindakan mana yang dapat diterima dan tindakan mana yang tidak dapat diterima dan nilai-nilai tersebut dikomunikasikan melalui cerita dan cara-cara simbolis lainnya(McKenna,etal, op.cit P.63).
Amnuai (1989) membatasi pengertian budaya organisasi sebagai pola asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota sebuah organisasi dari hasil proses belajar adaptasi terhadap permasalahan ekternal dan integrasi permasalahan internal.
Organisasi memiliki kultur melalui proses belajar, pewarisan, hasil adaptasi dan pembuktian terhadap nilai yang dianut atau diistilahkan Schein (1992) dengan considered valid yaitu nilai yang terbukti manfaatnya. selain itu juga bisa melalui sikap kepemimpinan sebagai teaching by example atau menurut Amnuai (1989) sebagai “through the leader him or herself” yaitu pendirian, sikap dan prilaku nyata bukan sekedar ucapan, pesona ataupun kharisma.
Dari pengertian diatas bisa disimpulkan bahwa budaya organisasi diartikan sebagai kristalisasi dari nilai-nilai serta merupakan kepercayaan maupun harapan bersama para anggota organisasi dalam hal ini dosen di STIMIK Bani Saleh yang diajarkan dari generasi yang satu kegenerasi yang lain dimana didalamnya ada perumusan norma yang disepakati para anggota organisasi, mempunyai asumsi, persepsi atau pandangan yang sama dalam menghadapi berbagai permasalahan dalam organisasi.
Hal-hal yang mempengaruhi budaya organisasi
Menurut Piti Sithi-Amnuai bahwa : “being developed as they learn to cope with problems of external adaptation anda internal integration (Pembentukan budaya organisasi terjadi tatkala anggota organisasi belajar menghadapi masalah, baik masalah-masalah yang menyangkut perubahan eksternal maupun masalah internal yang menyangkut persatuan dan keutuhan organisasi).( Opcit Ndraha, P.76).
Pembentukan budaya akademisi dalam organisasi diawali oleh para pendiri (founder) institusi melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
1. Seseorang mempunyai gagasan untuk mendirikan organisasi.
2. Ia menggali dan mengarahkan sumber-sumber baik orang yang sepaham dan setujuan dengan dia (SDM), biaya dan teknologi.
3. Mereka meletakan dasar organisasi berupa susunan organisasi dan tata kerja.
Menurut Vijay Sathe dengan melihat asumsi dasar yang diterapkan dalam suatu organisasi yang membagi “Sharing Assumption”( loc.cit Vijay Sathe, p. 18) Sharing berarti berbagi nilai yang sama atau nilai yang sama dianut oleh sebanyak mungkin warga organisasi. Asumsi nilai yang berlaku sama ini dianggap sebagai faktor-faktor yang membentuk budaya organisasi yang dapat dibagi menjadi :
a). Share thing, misalnya pakaian seragam seperti pakaian Korpri untuk PNS, batik PGRI yang menjadi ciri khas organisasi tersebut.
b). Share saying, misalnya ungkapan-ungkapan bersayap, ungkapan slogan, pemeo seprti didunia pendidikan terdapat istilah Tut wuri handayani, Baldatun thoyibatun wa robbun ghoffur diperguruan muhammadiyah.
c). Share doing, misalnya pertemuan, kerja bakti, kegiatan sosial sebagai bentuk aktifitas rutin yang menjadi ciri khas suatu organisasi seperti istilah mapalus di Sulawesi, nguopin di Bali.
d). Share feeling, turut bela sungkawa, aniversary, ucapan selamat, acara wisuda mahasiswa dan lain sebagainya.
Sedangkan menurut pendapat dari Dr. Bennet Silalahi bahwa budaya organisasi harus diarahkan pada penciptaan nilai (Values) yang pada intinya faktor yang terkandung dalam budaya organisasi.( Silalahi,2004:8) harus mencakup faktor-faktor antara lain : Keyakinan, Nilai, Norma, Gaya, Kredo dan Keyakinan terhadap kemampuan pekerja
Untuk mewujudkan tertanamnya budaya organisasi tersebut harus didahului oleh adanya integrasi atau kesatuan pandangan barulah pendekatan manajerial (Bennet, loc.cit, p.43)
bisa dilaksanakan antara lain berupa :
a) Menciptakan bahasa yang sama dan warna konsep yang muncul.
b) Menentukan batas-batas antar kelompok.
c) Distribusi wewenang dan status.
d) Mengembangkan syariat, tharekat dan ma’rifat yang mendukung norma kebersamaan.
e) Menentukan imbalan dan ganjaran
f) Menjelaskan perbedaan agama dan ideologi.
Selain share assumption dari Sathe, faktor value dan integrasi dari Bennet ada beberapa faktor pembentuk budaya organisasi lainnya dari hasil penelitian David Drennan selama sepuluh tahun telah ditemukan dua belas faktor pembentuk budaya organisasi /perusahaan/budaya kerja/budaya akademis ( Republika, 27 Juli 1994:8) yaitu :
1) Pengaruh dari pimpinan /pihak yayasan yang dominan
2) Sejarah dan tradisi organisasi yang cukup lama.
3) Teknologi, produksi dan jasa
4) Industri dan kompetisinya/ persaingan antar perguruan tinggi.
5) Pelanggan/stakehoulder akademis
6) Harapan perusahaan/organisasi
7) Sistem informasi dan kontrol
8) Peraturan dan lingkungan perusahaan
9) Prosedur dan kebijakan
10) Sistem imbalan dan pengukuran
11) Organisasi dan sumber daya
12) Tujuan, nilai dan motto.
Budaya dengan profesionalisme
Dalam perkembangan berikutnya dapat kita lihat ada keterkaitan antara budaya dengan disain organisasi atau hubungan budaya dengan keberhasilan suatu perguruan tinggi sesuai dengan design culture yang akan diterapkan. Untuk memahami disain organisasi tersebut, Harrison ( McKenna, etal, 2002: 65) membagi empat tipe budaya organisasi :
1. Budaya kekuasaan (Power culture).
Budaya ini lebih mempokuskan sejumlah kecil pimpinan menggunakan kekuasaan yang lebih banyak dalam cara memerintah. Budaya kekuasaan juga dibutuhkan dengan syarat mengikuti esepsi dan keinginan anggota suatu organisasi.
Seorang dosen, seorang guru dan seorang karyawan butuh adanya peraturan dan pemimpin yang tegas dan benar dalam menetapkan seluruh perintah dan kebijakannya. Kerena hal ini menyangkut kepercayaan dan sikap mental tegas untuk memajukan institusi organisasi. Kelajiman diinstitusi pendidikan yang masih meenganut manajemen keluarga, peranan pemilik institusi begitu dominan dalam pengendalian sebuah kebijakan institusi akademis, terkadang melupakan nilai profesionalisme yang justru hal inilah salah satu penyebab jatuh dan mundurnya sebuah perguruan tinggi.
2. Budaya peran (Role culture)
Budaya ini ada kaitannya dengan prosedur birokratis, seperti peraturan organisasi dan peran/jabatan/posisi spesifik yang jelas karena diyakini bahwa hal ini akan mengastabilkan sistem. Keyakinan dan asumsi dasar tentang kejelasan status/posisi/peranan yang jelas inilah akan mendorong terbentuknya budaya positif yang jelas akan membantu mengstabilkan suatu organisasi. Bagi seorang dosen tetap jauh lebih cepat menerima seluruh kebijakan akademis daripada dosen terbang yang hanya sewaktu-waktu hadir sesuai dengan jadwal perkuliahan. Hampir semua orang menginginkan suatu peranan dan status yang jelas dalam organisasi.
Bentuk budaya ini kalau diterapkan dalam budaya akademis dapat dilihat dari sejauhmana peran dosen dalam merancang, merencanakan dan memberikan masukan (input) terhadap pembentukan suatu nilai budaya kerja tanpa adanya birokarasi dari pihak pimpinan. Jelas masukan dari bawah lebih independen dan dapat diterima karena sudah menyangkut masalah personal dan bisa didukung oleh berbagai pihak melalui adanya perjanjian psikologis antara pimpinan dengan dosen yang dibawahnya. Budaya peran yang diberdayakan secara jelas juga akan membentuk terciptanya profesionalisme kerja seorang dosen dan rasa memiliki yang kuat terhadap peran sosialnya di kampus serta aktifitasnya diluar keegiatan akademis dan kegiatan penelitian.
3. Budaya pendukung (Support culture)
Budaya dimana didalamnya ada kelompok atau komunitas yang mendukung seseorang yang mengusahakan terjadinya integrasi dan seperangkat nilai bersama dalam organisasi tersebut. Selain budaya peran dalam menginternalisasikan suatu budaya perlu adanya budaya pendukung yang disesuaikan dengan kredo dan keyakinan anggota dibawah. Budaya pendukung telah ditentukan oleh pihak pimpinan ketika organisasi/institusi tersebut didirikan oleh pendirinya yang dituangkan dalam visi dan misi organisasi tersebut. Jelas didalamnya ada keselaran antara struktur, strategi dan budaya itu sendiri. Dan suatu waktu bisa terjadi adanya perubahan dengan menanamkan budaya untuk belajar terus menerus (longlife education)
4. Budaya prestasi (Achievement culture)
Budaya yang didasarkan pada dorongan individu dalam organisasi dalam suasana yang mendorong eksepsi diri dan usaha keras untuk adanya independensi dan tekananya ada pada keberhasilan dan prestasi kerja. Budaya ini sudah berlaku dikalangan akademisi tentang independensi dalam pengajaran, penelitian dan pengabdian serta dengan pemberlakuan otonomi kampus yang lebih menekankan terciptanya tenaga akademisi yang profesional, mandiri dan berprestasi dalam melaksanakan tugasnya.
Dari empat tipe budaya diatas cukup mengena dalam kaitannya dengan pengaruh budaya terhadap kinerja seorang dosen dapat dilihat dari budaya prestasi atau lebih tepat sebagai bentuk profesionalisme seorang dosen dalam perannya, dimana Handi (1985) menyebutnya dengan istilah budaya pribadi (person culture). Istilah profesionalisme dalam dunia kependidikan bukanlah hal yang baru. Penulis beranggapan bahwa profesionalisme itulah sebagian dari apilikasi budaya organisasi secara person culture dalam hal ini dapat dilihat dari karakter dosen dalam mengaplikasikan budaya akademis yang sudah disampaikan oleh pihak institusi kampus.
Dalam rangka peningkatan culture akademis dan profesionalisme kerja perlu adanya pengelolaan dosen (Sufyarma, 2004:.183). antara lain :
a) Meningkatkan kualitas komitmen dosen terhadap pengembangan ilmu yang sejalan dengan tugas pendidikan dan pengabdian pada masyarakat.
b) Menumbuhkan budaya akademik yang kondusif untuk meningkatkan aktifitas intelektual.
c)Mengusahakan pendidikan lanjut dan program pengembangan lain yang sesuai dengan prioritas program studi.
d) Menata ulang penempatan dosen yang sesuai dengan keahlian yang dimilikinya agar profesionalisme dan efisiensi dapat ditingkatkan.
e) Melakukan pemutakhiran pengetahuan dosen secara terus menerus dan berkesinambungan.
Sehingga perguruan tinggi harus dikelola dengan professional memiliki dua faktor sebagai bentuk penerapan budaya akademis yang kuat yaitu :
1. Profesional personal.
Adapun profesional personal ini memiliki karakteristik antara lain :
a) Bangga atas pekerjaannya sebagai dosen dengan komitmen pribadi yang kuat atas kreatifitas.
b) Memiliki tanggungjawab yang besar, antisipatif dan penuh inisatif.
c) Ingin selalu mengerjakan pekerjaan dengan tuntas dan ikut terlibat dalam berbagai tugas diluar yang ditugaskan kepadanya.
d) Ingin terus belajar untuk meningkatkan kemampuan kerja dan kemampuan melayani.
e) Mendengarkan kebutuhan mahasiswa dan dapat bekerja denga baik dalam tim.
f) Dapat dipercaya, jujur, terus terang dan loyal.
g)Terbuka terhadap kritik yang bersifat konstruktif serta siap untuk meningkatkan dan menyempurnakan dirinya.
2. Professional institusional.
Adapun karakteristik profesional institusional dapat dilihat dalam karakteristik sebagai berikut :
a) Perkuliahan berjalan lancar, dinamis dan dialogis.
b) Masa studi mahasiswa tidak lama dan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan memperoleh indeks prestasi yang tinggi.
c) Minat masyarakat yang memasuki perguruan tuinggi adalah besar, karena perguruan tinggi yang bersangkutan adalah legitimate dan credible.
d) Memiliki staf pengajar yang telah lulus studi lanjut (S2 dan S3) dan
e) Aktif dalam Pertemuan ilmiah serta produktif dalam karya ilmiah.
f) Pengelolaan perguruan tinggi yang memiliki visi yang jauh kedepan, otonom, fleksible serta birokrasi yang singkat dan jelas.
g) Program perguruan tinggi, baik akademik maupun administratif harus disusun secara sistematis, sistemik dan berkelanjutan.
h) Kampus harus dibenahi secara bersih, hijau dan sejuk.
i). Alumni perguruan tinggi harus mampu bersaing secara kompetitif, baik secaranasional maupun global.
Sedangkan Mahfud MD (1998:4) antara lain menunjukan beberapa karakteristik budaya akademis yang berpengaruh terhadap profesionalisme dosen sebagai berikut :
1) Bangga atas pekerjaannya sebagai dosen dengan komitmen pribadi yang kuat dan berkualitas.
2) Memiliki tanggungjawab yang besar, antisipatif dan penuh inisiatif.
3) Ingin selalu menegrjakan pekerjaan dengan tuntas dan ikut terlibat dalam berbagai peran diluar pekerjaannya.
4) Ingin terus belajar untuk meningkatkan kemampuan kerja dan kemampuan melayani.
5) Mendengar kebutuhan pelanggan dan dapat bekerja dengan baik dalam suatu tim.
6) Dapat dipercaya, jujur, terus terang dan loyal.
7) Terbuka terhadap kritik yang bersifat konstruktif serta selalu siap untuk meningkatkan dan menyempurnakan dirinya.

Selain itu kita lihat ada lima diskursus professional ( Danim, 2003:.126-127) yang berbeda diseputar profesionalisme keguruan yaitu antara lain :
1) Profesionalisme material (Material professionalism) merujuk pada kemampuan professional guru atau tenaga pengembang lain dilihat dari prespektif penguasaan material bahan ajar yang harus ditransformasikan dikelas ataupun diluar kelas.
2) Profesionalime metodologikal (Methodological professionalism) merujuk pada penguasaan metode dan strategi serta seni mendidik dan mengajar sehingga memudahkan proses belajar mengajar.
3) Profesionalisme sosial (Social professionalism) merujuk pada kedudukan guru dan tenaga pengembang lain sebagai manusia biasa dan sebagai anggota masyarakat dengan tidak kehilangan identitas budaya sebagai pendidik oleh karena bisa diajdikan contoh dan referensi prilaku dalam kehidupan masyarakat.
4) Profesionalisme demokratis (democratic professionalism) merujuk pada tugas pokok dan fungsi yang ditampilkan oleh guru dan tenaga pengembang lainnya harus beranjak dari, oleh dan untuk peserta didiknya sehingga mencerminkan miniature demokrasi masyarakat.
5) Profesionalisme manajerial (managerial professionalism) merujuk pada kedudukan guru bukanlah orang yang secara serta merta mentransmisikan bahan ajar saja tapi juga bertindak sebagai direktur, manajer atau fasilaitastor belajar.

Karakteristik budaya organisasi.
Untuk menentukan indikator secara pasti mengenai budaya organisasi jauh lebih sulit tetapi penulis mengambil dari beberapa pendapat para ahli mengenai indikator yang menentukan budaya organisasi.
Khun Chin Sophonpanich memasukan budaya pribadi ke dalam Bank Bangkok 50 tahun yang lalu dengan beberapa indikator antara lain :
a). Ketekunan (dilligency),
b). Ketulusan (sincerity),
c). Kesabaran (patience) dan
d). Kewirausahaan (entrepreneurship).
Sedangkan Amnuai dan Schien membagi budaya organisasi kedalam beberapa indikator yaitu antara lain
a). Aspek kualitatif (basic)
b). Aspek kuantitatif (shared) dan aspek terbentuknya
c).. Aspek komponen (assumption dan beliefs),
d). Aspek adaptasi eksternal (eksternal adaptation)
e). Aspek Integrasi internal (internal integration) sebagai proses penyatuan budaya melalui asimilasi dari budaya organisasi yang masuk dan berpengaruh terhadap karakter anggota.
Selangkah lebih maju tinjauan dari Dr.Bennet Silalahi yang melihat budaya kerja dapat dilihat dari sudut teologi dan deontology (Silalahi, 2004:25-32) seperti pandangan filsafat Konfutse, etika Kristen dan prinsip agama Islam. Kita tidak memungkiri pengaruh tiga agama ini dalam percaturan peradaban dunia timur bahkan manajemen barat sudah mulai memperhitungkannya sebagai manajemen alternatif yang didifusikan ke manajemen barat setelah melihat kekuatan ekonomi Negara kuning seperti Cina, Jepang dan Korea sangat kuat. Perimbangan kekuatan ras kuning Asia yang diwakili Jepang, Korea dan Cina tentu saja tidak bisa melupakan potensi kekuatan ekonomi negara-negara Islam yang dari jumlah penduduknya cukup menjanjikan untuk menjadi pangsa pasar mereka.
Tinjauan ajaran Islam membagi budaya kerja kedalam beberapa indikator antara lain :
a) Adanya kerja keras dan kerjasama (QS. Al-Insyiqoq : 6, Al-Mulk : 15, An-Naba : 11 dan At-taubah : 105))
b) Dalam setiap pekerjaan harus unggul/professional/menjadi khalifah (An-Nahl : 93. Az-Zumar : 9, Al-An’am : 165)
c) Harus mendayagunakan hikmah ilahi (Al-Baqoroh : 13)
d) Harus jujur, tidak saling menipu, harus bekerjasama saling menguntungkan.
e) Kelemah lembutan.
f) Kebersihan
g) Tidak mengotak-kotakan diri/ukhuwah
h) Menentang permusuhan.
Sedangkan menurut ajaran konghucu budaya kerja ditinjau dari budaya Ren yang terdiri dari lima sifat mulia manusia antara lain :
a) Ren (hubungan industrial supaya mengutamakan keterbatasan, kebutuhan dan kualitas hidup manusia)
b) Yi (tipu muslihat, timbangan yang tidak benar, kualitas barang dan jasa supaya disngkirkan atau dibenarkan agar tidak merugikan para stakehoulder)
c) Li (Instruksi kerja, penilaian unjuk kerja, peranan manajemen harus dilandaskan pada kesopanan dan kesantunan)
d) Zhi (kearifan dan kebijaksanaan dituntut dalam perencanaan, pengambilan keputusan dan ketatalaksanaan kerja, khususnya dalam perencanaan strategi dan kebijakan)
e) Xing (setiap manajer dan karyawan harus saling dapat dipercaya)Lebih jelas lagi diungkapkan oleh Desmond graves (1986:126) mencatat sepuluh item research tool (dimensi kriteria, indikator) budaya organisasi yaitu :
1. Jaminan diri (Self assurance)
2. Ketegasan dalam bersikap (Decisiveness)
3. Kemampuan dalam pengawasan (Supervisory ability)
4. Kecerdasan emosi (Intelegence)
5. Inisatif (Initiative)
6. Kebutuhan akan pencapaian prestasi (Need for achievement)
7. Kebutuhan akan aktualisasi diri (Need for self actualization)
8. Kebutuhan akan jabatan/posisi (Need for power)
9. Kebutuhan akan penghargaan (Need for reward)
10. Kebutuhan akan rasa aman (Need for security).
Penutup
Dari uraian diatas bahwa peningkatan kualitas kinerja seorang pendidik bisa dilakukan dengan memperhatikan kepuasan kerja secara intensif baik kepuasan intrinsik maupun kepuasan ekstrinsik dan memperbaiki budaya organisasi yang hanya berorientasi tugas semata dengan menerapkan budaya kerja yang berorientasi kinerja, persaingan, yang di sinergiskan dengan upaya re-inveting organisasi dan pengembangan jenjang karier secara berkala atau memperbaiki budaya organisasi yang berpola paternalistik dengan budaya organisasi berpola profesionalisme.
Sehingga para pendidik memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan secara langsung kepada rekan kerja ataupun kepada pihak pimpinan mengenai hal-hal yang menjadi hambatan psikologis dan komunikasi yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan baik instrinsik maupun ekstrinsik dan pihak pimpinan senantiasa memperhatikan dan memegang teguh prinsip keadilan dan humanitas dalam pengembangan diri dimasa yang akan datang.
Agar membentuk kesadaran untuk tetap meningkatkan semangat dan budaya kerja yang inisiatif, kreatif dan penuh inovasi dan pihak pimpinan akademisi atau institusi dapat mengembangkan budaya terbuka dan dorongan terhadap seluruh aktifitas akademis yang didukung oleh adanya penghargaan, pengakuan dan bersifat reaktif dan pro-aktif terhadap permasalahan akademis maupun non-akademis yang terjadi dikalangan pendidik yang sebenarnya bisa berakibat menurunnya citra dan semangat kekeluargaan antara pendidik dengan pihak pimpinan akademisi..
Peningkatan kepuasan kerja berupa materi maupun non-materi untuk meningkatkan kesejahteraan dosen, kemudian tingkatkan budaya akademisi yang berbasis pada peningkatan penelitian, pengembangan jenjang pendidikan dosen yang diseimbangkan dengan ketegasan dan control sehingga tercipta budaya akdemisi yang kondusif. Serta Tingkatkan profesionalisme kerja dalam pemberian jenjang jabatan tanpa menghilangkan budaya kekeluargaan yang kuat dan didasari adanya control dan penghargaan serta pengakuan yang proporsional.











Buku Rujukan
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta : Rineka Cipta, 2001) P. 72
Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu Pengantar, (Jakarta : Grafindo, 2003), P. 174
Sudarwan Danim, Menjadi Komunitas Pembelajar, (Jakarta : Bumi Aksara, 2003), P.148.
Eugene McKenna dan Nic Beec, The Essence of : Manajemen Sumber Daya Manusia,Terj. Toto Budi Santoso, (Yogjakarta : Penerbit Andi, 2002) P. 19
Taliziduhu Ndraha, Budaya organisasi, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003) p.123.
Vijay Sathe, Culture and Related corporate Realities, (Homewood : Richard D. Irwin, Inc., 1985) p. 18
Edgar H. Schein, Organizational Culture and Leadershif, (San Fransisco : Josseybass Publ, 1992) p.16.
Stephen P. Robbins,Organizational Theory: Structure Design and Aplication (New Jersey : Prentice Hall, Inc., 1990), P.4Waren B.Brown dan Denis J. Moberg, Organization Theory and Mangement: A Macro Approach, (New York : John Wiley & Sons,1980), P. 6.Amitai Etzioni, Complex Organization : A Sociological Reader, (New York : Rine Hart & Winston, 1961) P.14. Umar Nimran, Kebijakan Perusahaan, (Jakarta : Karunika UT, 1996), P. 11. Eugene McKenna & Nic Beech, op.cit P.63.. Prof. Dr. Bennet Silalahi, Corporate Culture and Performance Appraisal, (Jakarta : Al-Hambra, 2004), P. 8.Kutipan Republika, 27 JUli 1994:8Harisson R., Understanding your Organization’s Character, (Harvard Business Review, May-June1972 : 119-128). dikutif langsung (atau tidak langsung) oleh Eugene McKenna dan Nic Beec, The essence of : Mannajemen Sumber Daya Manusia,Trj. Toto Budi Santoso, (Yogjakarta : Penerbit Andi, 2002) P. 65C. Handy, Understanding Organizations, (London : Penguin, 1985), dikutip langsung oleh Eugene McKenna dan Nic Beec, The Essence of : Manajemen Sumber Daya Manusia,Trj. Toto Budi Santoso, (Yogjakarta : Penerbit Andi, 2002) P. 66Sufyarma, Kapita selekta : Manajemen Pendidikan, (Bandung : Alfabeta, 2004), P.183.Mohammad Mahfud M.D., Workshop Nasional : Relevansi Peraturan Perundang-undangan dalam Menyongsong Perguruan Tinggi di Indonesia pada abad ke 21, (Yogyakarta : Kerjasama UII dan Untar, 1998), P. 4. Sudarwan Danim, Menjadi Komunitas Pembelajaran, (Jakarta ; Bumi Aksara, 2003), p.126-127.Bennet Silalahi, Corporate Culture & Performance Apparaisal, (Jakarta : Al-Hambra, 2004), p.25-32Desmond graves, Corporate Culture : Diagnosis and Change Auditing and Changing the Culture of Organization, (London : Frances Pinter Publishing, 1986) P.126.

Powered By Blogger

Ayo Gabung di Sini !!

Arsip Blog